Selasa, 06 Juli 2010 di 16.52 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Pak Sukiman yang telah bertahun-tahun tinggal bersama istri dan anaknya pada sebuah rumah yang sempit dan berhimpitan dengan rumah para tetangganya. Kini ia terdiam menatap masa depannya yang belum pasti.
Seonggok perabotan rumah dan barang-barang milik pribadinya bertumpuk di luar, diterpa sinar matahari dan ditimpa curahan air hujan. Apa yang terjadi pada keluarga pak Sukiman ?
Dia baru saja dipaksa keluar oleh oknum petugas yang tidak bertanggung jawab, dengan alasan rumahnya harus dijual dan kena gusuran pembangunan sebuah gedung yang kekar dan mencakar langit, yang akan dibangun di atas tanahnya tersebut.
Sebelumnya terjadi perang mulut antara dia dengan para petugas tersebut. Pak Sukirman pada dasarnya menerima keharusan rumahnya digusur demi kepentingan umum. Akan tetapi, ia meminta ganti rugi yang layak. Namun ternyata rumahnya dihancurkan dengan tanpa mendapatkan ganti rugi seperti yang ia inginkan.
Malang benar nasibmu wahai pak Sukiman ! Meski pak Sukiman menelan rasa pahit kehidupan sebagai orang kecil yang tidak berdaya, namun dia sedikit merasa terhibur. Lantaran dia tidak sendirian. Masih ratusan orang di negeri ini yang mengalami hal serupa. Sepahit-pahitnya kehidupan, akan menjadi ringan jika dipikul bersama. Begitulah pikir pak Sukirman.
Setefanus, Uray dan kawan-kawannya mungkin hangus terpanggang oleh si jago merah yang melahap hutan luas di Irian Jaya dan Kalimantan. Mata pencaharian orang-orang yang tinggal di sekitar hutan, habis dan hangus. Entah bagaimana mereka akan menyambung kehidupan selanjutnya ?
Para penjual jasa dengan tenaganya harus rela meninggalkan keluarga dan kampung halamannya menuju tempat yang nun jauh di sana, demi mewujudkan impian mereka.
Mereka berusaha dengan meminjam ke sana ke mari, untuk menyediakan biaya dan segala keperluan pemberangkatannya ke daerah baru tersebut.
Mereka lugu dan sederhana. Saya ingin bekerja sekarang ini, sahut Sumirah binti Samadikun. Saya ingin kerja di Arab Saudi, biar sekalian dapat naik haji, timpal Muthiah berharap.
Lain dalam alam khayal, lain pula dalam alam nyata. Tidak sedikit dari mereka yang diperlakukan seperti budak dan pemuas hasrat nafsu birahi. Bahkan sebagian dari mereka ada yang diperas dan dinodai kehormatannya sebelum berangkat ke luar negeri.
Misalnya Mat Syafei, karena satu dan lain hal dia menjual tanah yang ia warisi dari ayahnya, dengan segepok uang bernilai 700 juta rupiah.
Sebagian kecil darinya, dia pakai untuk naik haji bersama istrinya. Sementara sisanya dia simpan di sebuah Bank yang akhir-akhir ini terkena likuidasi. Habislah uangnya begitu saja, tanpa arti.
Semua peristiwa di atas, adalah kasus-kasus sosial yang menyesakkan dada. Jeritan hati wong cilik akibat penindasan, merebak di seantero dunia. Orang-orang bijak atau orang yang menaruh rasa peduli pada kemanusiaan, hanya bisa mengelus dada dan bersuara. Namun, suara mereka tidak sampai ke telinga para jagoan dan gladiator yang bercokol di balik benteng-benteng kekuasaan. Suara mereka tidak tembus ke dalam hati sanubari kaum kapitalis, yang rakus dan tidak mengindahkan norma-norma kemanusiaan.
Mereka orang-orang yang tak berdaya. Hari-hari mereka terus terancam. Mereka resah dan gelisah. Mereka bingung, hendak ke mana gerangan dan kepada siapa akan berlindung serta minta pertolongan ?
Wakil-wakil mereka di Parlemen sudah berubah dari fungsinya sebagai wakil rakyat, menjadi sekelompok manusia yang datang ke Parlemen hanya sekedar untuk mendengarkan program-program pemerintah yang telah ditunggangi segelintir konglomerat, seraya mereka mengaminkannya.
Penggusuran, perampasan, perkosaan, pembunuhan dan perbuatan-perbuatan kriminal lainnya, selalu menghantui setiap rumah, setiap orang dan setiap keluarga. Dunia tidak lagi aman. Dunia makin sadis dan kejam. Si kuat makin sulit mengalah, sementara yang miskin terus dipaksa harus mengalah kepada si kuat.
Kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi di negeri persada yang kita cintai ini. Akan tetapi di negeri-negeri lain pun hal itu terjadi. Mungkin dengan bentuk yang sama, atau berbeda sama sekali.
Selagi obsesi dan ambisi manusia berupa kepuasan materi dan kebutuhan-kebutuhan fisik, maka nilai-nilai kemanusiaan dengan sendirinya tergilas.

Janji Allah
Kita selaku umat yang beriman kepada Allah Swt. dan berkeyakinan, bahwa Dialah Dzat yang Maha Adil, Maha Pengasih lagi Penyayang, merasa terhibur dengan janji-janji Allah yang tidak mungkin diingkari-Nya.
Dalam sejumlah ayat Al-Qur'an, Allah menjanjikan bahwasanya pada akhirnya kelak bumi ini akan diwariskan dan dikuasai oleh orang-orang baik, adil dan bertaqwa.
Allah Swt. berfirman, Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan Kami hendak menjadikan mereka sebagai pemimpin dan akan mewarisi bumi ini. (QS. Al-Qashash ayat 5).
Ayat di atas secara kontekstual menceritakan tentang orang-orang Yahudi yang ditindas Fir'aun, dan Allah menjanjikan kepada mereka nanti untuk menjadi pemimpin dan pewaris bumi.
Meskipun demikian, maksud ayat tersebut tidak dibatasi dengan peristiwa yang dialami bangsa Yahudi waktu itu saja, karena ayat ini ingin menjelaskan bahwa orang-orang yang tertindas dan diperlakukan zalim, suatu saat nanti akan menjadi penguasa dan pemimpin di atas bumi ini. Jadi ayat tersebut menyatakan, bahwa yang akan menjadi pemimpin dan pewaris bumi adalah orang-orang yang tertindas.
Pada ayat lainnya Allah berfirman, Sesungguhnya, bumi ini akan diwarisi hamba-hamba-Ku yang shaleh. (QS. Al-Anbiya, 105).
Ayat tersebut dengan jelas menyatakan, bahwa bumi ini akan diwariskan kepada orang-orang yang baik dan shaleh. Jadi yang akan mewarisi dan menguasai bumi, pada akhirnya adalah orang-orang yang shaleh.
Dalam Al-Qur'an surat An-Nur ayat 55, Allah berfirman,
Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman dan beramal kebaikan di antara kalian, bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa.
Dan sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menggantikan keadaan mereka aman setelah mereka ketakutan.
Ayat di atas menjelaskan, bahwasanya Allah berjanji akan menyerahkan kekuasaan atas bumi ini kepada orang-orang yang beriman dan beramal kebaikan. Beranjak dari tiga ayat di atas dan keimanan, tampak bahwa Allah tidak akan melanggar janji-Nya.
Kita selaku kaum muslim yakin, bahwa penderitaan, penindasan dan kezaliman akan berakhir, dan dunia ini akan berada di bawah kepemimpinan orang-orang yang bijak dan shaleh, sehingga pemerataan keadilan dan kedamaian akan tegak.
Andaikata kita amati dengan baik, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan akan diserahkan kepada orang-orang tertindas, orang-orang shaleh, orang-orang beriman dan beramal kebaikan. Tiga kriteria tersebut harus ada pada diri seorang pemimpin yang akan mewarisi bumi dan memimpin dunia sesuai dengan janji Allah.

Kriteria-kriteria pemimpin yang Allah janjikan
Ada tiga kriteria yang harus ada pada seorang calon pemimpin yang Allah janjikan, yaitu tertindas, beramal baik dan beriman.
Maksud tertindas pada pemimpin yang Allah janjikan, adalah seorang yang selama hidupnya selalu mengalami penindasan, tekanan, dan penderitaan. Sedangkan yang dimaksud beramal baik, adalah pemimpin tersebut akan menebarkan persaudaraan, kedamaian dan keadilan kepada seluruh umat manusia.
Adapun maksud dari beriman, adalah dia bukan seorang yang materialis dan kapitalis, yang hanya berusaha memuaskan kebutuhan fisik saja. Bahkan sebaliknya, ia mengajak manusia agar menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan menyadarkan manusia bahwa kehidupan tidak hanya di dunia ini saja, tetapi di hari kemudian juga. Oleh karenanya pemimpin yang dijanjikan, adalah pemimpin yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

Siapakah pemimpin yang dijanjikan itu ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita tidak perlu mereka-mereka, karena jawabannya dapat kita peroleh dengan mudah dari keterangan hadis-hadis Nabi Muhammad Saaw. Hadis Nabi, sebagaimana fungsinya sebagai penjelas Al-Qur'an, menjelaskan tentang siapa pemimpin yang Allah janjikan itu.
Dalam banyak kitab Hadis dari kalangan Ahlu Sunnah dan Syi'ah disebutkan, bahwa pemimpin yang dijanjikan itu adalah Imam al-Mahdi al-Muntadzar. Di sini akan kami sebutkan sebagian kecil dari Hadis-Hadis tentang al-Mahdi al-Muntadzar.
1. Ahmad, Turmudzi, Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Saaw bersabda, Sekiranya dunia ini hanya tinggal sehari saja, niscaya Allah mengutus seorang manusia dari keluargaku (keturunanku) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan, setelah dunia dipenuhi kezaliman. (Kitab Is'af ar-Raghibin).

2. Rasulullah Saaw bersabda, Di akhir zaman kelak, akan keluar seorang dari keturunanku, namanya seperti namaku dan julukannya seperti julukanku. Dia akan memenuhi bumi dengan keadilan, sebagaimana sebelumnya bumi dipenuhi kezaliman. Itulah al-Mahdi. (Kitab Tadzkirah al-Khawwas, 204).

3. Rasulullah Saaw bersabda, Barangsiapa mengingkari keluarnya al-Mahdi, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan barang siapa mengingkari tentang kemunculan Dajjal, maka dia telah kufur. (Kitab Faraid as-Simthain).

4. Menurut Abu Said al-Khudri, Rasulullah Saaw bersabda, Sampaikanlah kabar gembira tentang al-Mahdi. Sesungguhnya dia akan datang di akhir zaman ketika terjadi kesulitan dan gempa. Allah akan menebarkan keadilan dan kedamaian melalui al-Mahdi di muka bumi ini. (Kitab Dalail al-Imamah, 171). []

di 16.51 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Sungguh Allah Ta’ala dengan iradah azaliyah-Nya telah menghadirkan seorang wanita, yang langit dan bumi belum pernah dan tidak akan pernah menyaksikan, sebelum dan sesudahnya, wanita seperti dia. Ia dilahirkan dari dua manusia suci. Yang satu Muhammad bin Abdullah, ayahandanya yang sangat menyayanginya, yang sekaligus merupakan seorang Nabi yang paling mulia di antara Nabi yang diutus, dan makhluk Tuhan yang paling dicintai-Nya. Yang satunya lagi adalah ibunda tercintanya, Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita yang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebenaran.
Tidak heran kalau sang bayi mungil, yang terlahir dari dua orang suci tersebut, mewarisi segala kemuliaan dan kebesaran kedua orang tuanya, dan kelak bumi dan langit serta segala isinya akan menjadi saksi tentang ketegaran dan keagungan bayi tersebut.
Kehadirannya di tengah-tengah bangsa yang biadab, keras kepala dan yang mengubur wanita hidup-hidup, menjadikannya lebih cemerlang dan bersinar. Semua itu terjadi bukan secara kebetulan dan tanpa perhitungan, akan tetapi akibat dari sebuah rekayasa Tuhan yang amat cermat dan tepat.
Dia lahir lima tahun setelah ayahanda tercintanya diberi tugas yang amat berat dan sangat suci, yaitu untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari kehancuran menuju kedamaian. Sang bayi mungil, sebagaimana bayi-bayi lainnya, mendapatkan belaian kasih sayang dari kedua tangan ibundanya dan curahan kecintaan dari kedua mata ayahandanya.
Dia mulai menyadari, bahwa kehadirannya benar-benar merupakan anugerah Tuhan untuk kedua orang tuanya. Hari demi hari silih berganti, dilewatkannya dengan penuh keindahan dan kesenangan. Namun kesenangan dan keceriaan si kecil tadi hanyalah merupakan satu episode khusus dari serangkaian episode skenario Tuhan yang penuh keharuan, kesedihan, deraian air mata dan tekanan batin. Seakan-akan sang Sutradara Agung yang Maha bijak hendak menampilkannya sebagai sosok yang menjadi tumbal keserakahan umat manusia.
Disaat Fathimah kecil beranjak usia lima tahun, ibunda tercintanya pergi untuk selamanya. Dan segera setelahnya, paman ayahanda beliau yang kharismatik, Abu Thalib, juga menyusul ke alam baqa. Belaian kasih sayang kedua tangan ibundanya tidak akan pernah dialaminya lagi.
Sejak kepergian Abu Thalib dan khadijah, Fathimah kecil harus bersiap-siap menghadapi kegetiran dan kepahitan hidup. Serigala-serigala padang pasir yang lapar dan sadis, sudah mulai meneteskan air liurnya dan meraung-raung yang menandakan pesta jahiliyah segera dimulai.
Mereka tidak sabar lagi untuk merobek-robek relung hati si kecil yang suci, Fathimah, yang baru saja kehilangan ibundanya. Maka babak baru kehidupan Fathimah kecil yang sangat berbeda dengan sebelumnya, segera dimulai.
Ketegaran yang diwarisi Fathimah kecil dari ibunda dan ayahandanya, tidak menjadikannya sebagai seorang anak kecil yang mudah merengek. Dia tampil seakan-akan seorang wanita dewasa yang matang dan penuh pengertian.
Jika dia menangis, hal itu bukan karena dan untuk dirinya sendiri, tetapi disebabkan dan untuk ayahandanya dan para sahabatnya yang senantiasa diganggu dan disiksa kaum musyrikin.
Para ahli sejarah menceritakan, bahwa pernah suatu waktu ketika Rasulullah saaw sedang menunaikan shalat di mesjid al-Haram, beliau tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta. Tiba-tiba datanglah sejumlah pembesar Quraisy menghampirinya dan melempari kepala dan punggung beliau dengan kotoran binatang. Beliau diam dan tetap meneruskan sujudnya.
Fathimah kecil menyaksikan sendiri perbuatan amoral yang menimpa ayahandanya itu di hadapan kedua matanya yang bening. Lalu dia segera mendekatinya dan membersihkan kotoran binatang tersebut dari kepala dan punggung ayahandanya dengan kedua tangannya yang lembut. Kedua matanya berderai air mata.
Sekali-sekali terdengar isak tangis dari rongga dadanya yang dalam, keluar tidak tertahan lagi. Rasulullah saaw segera menatap muka Fathimah yang sedih, kemudian memeluknya sambil bersabda, Putriku, janganlah engkau bersedih. Hal ini tidak akan berlangsung lama, sambil menghiburnya.
Betapa besar perjuangan dan pembelaan Fathimah terhadap ayahandanya, sehingga posisi Fathimah seakan-akan tidak lagi sebagai putri Rasulullah. Tetapi sebaliknya, Fathimah yang begitu dewasa dan matang pribadinya dan selalu berada di samping ayahandanya, seakan-akan menjadi ibu bagi ayahandanya sendiri. Fathimah Ummu Abihaa, demikianlah Rasulullah saaw menggelarinya.
Sebagai seorang putri Rasulullah saaw, Fathimah hidup penuh kesederhanaan. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan, bahwa Salman al-Farisi kelaparan, lalu dia berkeliling ke rumah istri-istri Nabi yang sembilan, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika hendak kembali, dia melihat rumah Fathimah. Kepada dirinya dia bergumam, Mudah-mudahan ada rezeki di rumah Fathimah putri Muhammad saaw.
Kemudian dia mengetuk pintu rumah Fathimah. Dari balik pintu terdengar suara, Siapa di balik pintu ? Aku, Salman al-Farisi, sahut Salman. Wahai Salman, apa yang anda inginkan ? tanya Fathimah. Lalu Salman menceritakan maksudnya.
Setelah itu Fathimah berkata, Wahai Salman, demi Yang mengutus Muhammad saaw dengan kebenaran sebagai Nabi. Sungguh, aku sudah tidak makan selama tiga hari. Demikian pula al-Hasan dan al-Husain, gemetar sekujur tubuhnya karena lapar yang sangat. Lalu keduanya tertidur bagaikan dua ekor anak burung yang tidak berbulu. Tapi aku tidak menolak kebaikan, jika datang di pintuku, jelas Fathimah.
Kemudian Fathimah melanjutkan perkataannya, Wahai Salman, ambilah baju perang ini, lalu pergilah kepada Syam'un Yahudi dan katakan kepadanya, bahwa Fathimah putri Muhammad berkata kepadamu, Berilah aku hutang seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini. Nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu.
Lalu Salman mengambil baju besi itu dan membawanya kepada Syam'un Yahudi. Wahai Syam'un, ini adalah baju besi Fathimah putri Muhammad saaw. Dia berkata kepadamu, Berilah aku hutang seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini, nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu.
Kemudian Syam'un mengambil baju besi tersebut, dan membolak-balikkannya dengan telapak tangannya, sementara kedua matanya berderai air mata sambil berkata, Wahai Salman, inilah kezuhudan dalam dunia. Inilah yang diberitakan oleh Musa bin Imran kepada kami di dalam Taurat. Kini aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Si Yahudi tersebut akhirnya masuk Islam.
Selain hidupnya yang amat sederhana dan kepedulian sosialnya yang sangat tinggi, siti Fathimah as. juga dikenal sebagai seorang yang abidah (ahli ibadah).
Al-Hasan bin Ali as. berkata, Aku melihat ibuku, Fathimah berdiri di mihrabnya pada malam jum'at. Beliau senantiasa ruku dan sujud hingga cahaya fajar menyingsing. Aku mendengar dia mendoakan orang-orang mukmin dan mukminat, bahkan menyebutkan nama-nama mereka satu demi satu. Dia banyak mendoakan mereka, tetapi tidak pernah mendoakan dirinya.
Lalu aku bertanya kepadanya, Wahai ibu, mengapa engkau tidak mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana ibu mendoakan yang lainnya ? Beliau menjawab, Wahai anakku, tetangga lebih didahulukan, baru rumah sendiri.
Fathimah juga adalah seorang muslimah yang sangat afifah. Pernah suatu waktu Nabi bertanya kepadanya, Apa yang terbaik bagi wanita ? Yaitu wanita yang tidak melihat laki-laki dan tidak dilihat laki-laki, jawabnya dengan yakin. Lalu Nabi memeluknya sambil membacakan ayat berikut, Satu keturunan yang sebagiannya dari yang lain. (QS. Ali-Imran : 34).
Fathimah as. yang sejak usia dini sudah menderita, maka penderitaan baginya menjadi suatu yang biasa. Penderitaan, tekanan dan kehidupan yang demikian pas-pasan telah menghiasi kehidupan Fathimah. Ironisnya, penderitaan dan kepedihan tersebut makin menguat sepeninggal ayahandanya tercinta.
Jika Fathimah ketika kecil dan dewasa menyaksikan dengan sedih gangguan dan rongrongan kaum musyrikin terhadap ayahandanya, maka sepeninggal ayahandanya hingga akhir hayatnya, Fathimah menyaksikan penghianatan dan ekploitasi umat ayahandanya terhadap suaminya Ali dan dirinya sendiri.
Sudah tentu yang terakhir lebih melukai dan menyakitkan hatinya. Simaklah kisah berikut, ketika Fathimah as. bersimpuh di pusara ayahandanya, untuk melaporkan padanya tentang keadaan yang telah berubah secara drastis sepeninggal ayahnya. Dengan suara parau dan mengharukan dia berkata, Wahai ayahku, sepeninggalmu sungguh betapa banyak berita duka dan tekanan terhadapku. Sekiranya engkau masih berada di tengah-tengah kami, maka keserakahan-keserakahan itu tidak akan banyak.
Walaupun Fathimah masih berduka dengan kematian ayahandanya tercinta, dia tetap tampil tegar ketika melihat adanya penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam.
Sejarah telah merekamkan untuk kita, bahwa setelah meninggal ayahandanya, lalu kaum muslimin mengangkat Abu bakar sebagai khalifah, maka Siti Fathimah naik mimbar dan berkhutbah di hadapan kaum Anshar dan Muhajirin. Dalam khutbahnya, Siti Fathimah menjelaskan tentang Tauhid, Kenabian dan Kepemimpinan serta memperingatkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan sejumlah kaum muslimin.
Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang menangis mendengarkan khutbah dan peringatan Fathimah tersebut.
Akhirnya Fathimah berpulang ke haribaan Tuhan, enam bulan setelah kepergian ayahandanya. Fathimah pergi dengan hati yang duka dan terluka. Fathimah diciptakan seakan-akan hanya untuk mendampingi ayahandanya. Sejak dia berusia lima tahun, dia sudah menjadi seorang ibu bagi ayahandanya. Kemudian setelah sang ayah pergi, diapun segera pergi menyusulnya. []

Besar nian jasamu wahai Fathimah,
dalam membela ayahmu.
Sungguh panjang dan dalam deritamu,
sejak ayahmu menjadi bulan-
bulanan kaum musyrikin.
Betapa sakit dan pedih hatimu
dikala engkau menyaksikan
pengkhianatan dan penyimpangan
sebagian umat ayahmu.
Salam sejahtera atasmu,
wahai Fathimah,
di hari lahirmu,
di hari penderitaanmu dan
di hari wafatmu.

di 16.51 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Ingatlah, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku akan menciptakan di muka bumi seorang khalifah. Para malaikat serentak berkata, Apakah Engkau hendak menciptakan di muka bumi (makhluk) yang akan melakukan kerusakan dan akan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa bertasbih dengan menyanjung-Mu dan mensucikan-Mu ? Seraya Allah menjawab, Sungguh Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Baqarah ayat 30).
Ayat di atas termasuk dari sekian firman Allah Ta’ala yang senantiasa segar dibahas dan dikaji. Hingga saat ini para ulama, khususnya Mufassirin (ahli tafsir Al-Qur’an), belum puas-puas dan tidak henti-hentinya mengungkap dan mengeksplorasi sedalam-dalamnya maksud dari ayat tersebut, untuk mendapat kebenaran darinya. Alasan mereka jelas dan sederhana. Karena ayat ini menyangkut eksistensi manusia yang sebenarnya.
Dengan memahami ayat tersebut secara baik dan benar, maka akan terpecahkan sebuah problema yang maha besar, yaitu hakikat manusia. Memahami hakikat manusia sangat menentukan pandangan dunia, ideologi, sikap, perjalanan dan nasib manusia setelah mati.
Hakikat manusia bagi sebagian pemikir dan filosof, masih merupakan teka-teki yang membingungkan. Umat Islam dengan pancaran cahaya Al-Qur’an, sedikit banyaknya terbantu dalam mengetahui hakikat manusia dan itu pun tergantung sejauh mana mereka memahami ayat tersebut.

Apa Arti Khalifah ?
Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ?
Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah ? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ? Sebelum pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus dipahami arti khalifah itu sendiri.
Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al-Qur’an menyebut kata khalifah atau khilafah dengan berbagai turunannya. Selain itu, Al-Qur’an menggunakan kata khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia.
Misalnya, ayat yang berbunyi, Dialah yang menciptakan malam dan siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi mereka yang mau berpikir atau bersyukur. (QS. Al-Furqan : 62)
Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk keburukan.
Allah Ta’ala berfirman, Lalu datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan. (QS. Maryam : 59).
Atau firman-Nya yang berbunyi, Maka datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang mewarisi kitab. (QS. Al-Araf : 169).
Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan) kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif. Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya (khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak reputasi mustakhlif.
Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak segala kebaikan dan kesempurnaan. Dengan demikian manusia adalah titisan dari kebaikan dan kesempurnaan-Nya.
Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui asma. (lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73).
Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I halaman 116 berkata, Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.
Selanjutnya beliau menjelaskan, Maksud mengajarkan asma, adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap. Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual (bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).
Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara mereka yang mampu. Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu sendiri.

Kriteria-Kriteria Khalifatullah
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya. Namun hal itu masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah, agar potensi itu berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat kriteria yang harus dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah Allah Ta’ala.
Kriteria-kriteria khalifah Allah itu ialah :
1. Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi :
Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat. Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Ku asma-asma itu, jika kalian memang benar ? (QS. Al-Baqarah : 31).

Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian asma yang tercantum pada ayat di atas. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang makna asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh para malaikat.

Sebagaimana telah kami kutipkan komentar Allamah Thabathaba’i tentang pengertian asma pada surat Al-Baqarah ayat 31 tersebut, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi ilmu, yang akan nyata dengan mengikuti petunjuk-Nya.

Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia berilmu. Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala.

3. Iman dan Amal Shaleh
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria khalifah-Nya.
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah. Sesungguhnya Dia akan meneguhkan bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku. Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur : 55).

Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan menjadikan hamba-hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin dunia. Tetapi janji itu akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal kebaikan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari seorang khalifatullah adalah iman dan amal shaleh.

3. Memberi keputusan dengan benar (haqq) dan tidak mengikuti hawa nafsu
Allah Ta’ala berfirman,
Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah di bumi, maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (QS. Shad : 26).

Allamah Thabathaba’i berkata, Maksud khalifah di sini secara lahiriah adalah khalifatullah, sama dengan maksud dari firman Allah (pada surat Al-Baqarah ayat 30). Dan seorang khalifah seharusnya menyerupai Yang mengangkat dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya berakhlak dengan akhlak-akhlak Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang Allah kehendaki dan memberi keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di jalan Allah.

Selanjutnya ketika menafsirkan ayat :
Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.
Beliau berkata, Makna ayat tersebut adalah, bahwa engkau dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu, maka engkau akan disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah. (Tafsir al-Mizan, jilid 17 halaman 194-195).

4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Rasulullah saww bersabda, Barang siapa ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, maka dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80).

Kesimpulan
Semua manusia secara potensial (bil-quwwah), diciptakan untuk menjadi khalifatullah. Namun agar potensi tersebut menjadi nyata (bil-fi’li), terdapat sejumlah kriteria yang harus dimilikinya, yaitu ilmu, iman, amal shaleh, memberi keputusan dengan benar, tidak mengikuti hawa nafsu dan ber-amar ma’ruf dan nahi munkar. []

di 16.50 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Siapakah Muhammad Saaw ?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dingin terhadap beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan (tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik.
Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah saaw ? Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ? Karena melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga bernyawa, makan, minum, nikah dan mati.
Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang. Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda.
Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan lain-lain.
Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan.
Allah Ta’ala berfirman, Wahai manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa. (QS. Al-Hujurat : 13).
Allah mengangkat orang-orang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat. (QS. Al-Mujadalah : 11).
Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal.
Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani.
Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah saaw dari sisi jasmani.
Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ?
Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ?
Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw, maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan ketinggian ruhaninya.
Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung.

Nabi Muhammad saaw dalam pandangan Allah Ta’ala
Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya Nabi Muhammad saaw itu ?
Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab al-Burdah. Beliau berujar :
Sungguh,
keutamaan Rasulullah
tiada dibatasi
dengan batas
yang dapat diungkap
mulut manusia.
Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala.
Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memandang Rasulullah saaw.
1. Dalam banyak ayat Al-Qur’an diterangkan, bahwa Muhammad adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak sembarangan orang dapat menggapainya.
Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi. Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj.
Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya.
Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 31).
Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ?
2. Dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala berfirman :
Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan hari akhirat, serta banyak berzikir.
3. Dalam Al-Qur’an surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung.
4. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman :
Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
5. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman :
Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).

Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua dalam lembaran yang sangat terbatas ini.
Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al-Qur’an keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka.
Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan sanjungan-Nya ?
Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw, lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir terjerembab ke dalam pengkultusan individu ?

Nabi Muhammad saaw menurut Hadis
Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus dan luas.
Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain :
1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, Suatu malam Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau. Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada isteri-isteri lainnya.
Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap,
Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya.
Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya.
Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya.
Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya.

Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu beliau bertanya kepadanya, Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Ummu Salamah ?
Seraya ia menjawab, Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya, agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun, untuk selama-lamanya ?
Rasulullah saaw balik bertanya, Wahai Ummu Salamah, apa yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ? Sungguh, Yunus bin Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?
2. Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, Rasulullah saaw menangis hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt.

Nabi Muhammad Saaw menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.
Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan paling kenal kepada beliau.
Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi Rasulullah saaw berkata :
Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.
Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu, maka diapun menganggapnya kecil.
Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita terhadap perintah Allah.
Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya.
Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, Wahai Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan ingat dunia dan segala keindahannya.’’
Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya, agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari perhatiannya.
Kesimpulan
Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan menyanjungnya ?
Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi, pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw.
Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ? []

di 16.49 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Apa Tujuan Hidup Manusia ?
Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan, karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia.
Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ?
Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing. Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati, bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49). Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada Sang Pencipta.
Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran.
Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak.
Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya kepada sekitarnya.
Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, Katakanlah, Sungguh shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Surat Al-An’am ayat 162).
Demikian pula Allah berfirman, Dan sekiranya penghuni kampung beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari langit dan bumi. (QS. Al-A’raf 96)
Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran, disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, Dan jika dia berpaling, maka dia berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan keturunan. (QS. Al-Baqarah ayat 205).
Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya. (QS. Al-Anfal ayat 32).
Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini memiliki pengikut dan musuh.
Syahid Muthahhari dalam buku Jadzibeh wa Dafieh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya.
Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah), sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, Berkata (Ibrahim as) : Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku. (Surat As-shafat ayat 99).
Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ? Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, Tuhan Kami yang telah menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk. (QS. Thaha ayat 50).
Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf, itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54).
Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya.
Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah.
Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya, sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan untuknya sorga di akhirat kelak.
Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, Sesungguhnya Allah mempunyai dua hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.
Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya.
Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya. Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan. Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari.
Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya (hal ini perlu kajian tersendiri).
Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan.
Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi.

Para Nabi dan Rasul adalah Para Pembimbing Ilahi
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, Katakanlah, Inilah jalanku. Aku mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang yang mengikutiku. (QS. Yusuf 108).
Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan. Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam di kedalaman jiwa manusia.
Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan filsafat pengutusan para Nabi, Allah mengutus di tengah-tengah mereka rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan-Nya. (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1).
Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi, karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia.
Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, Dan tidaklah pantas bagi Kami membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul. (QS. Al-Isra ayat 15).
Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin.
Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka telah menggapai semua itu.
Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada kesempurnaan (Allah).
Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka rasakan (wa syattana maa bainahuma).
Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia.
Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, Sungguh, telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman. (QS. Al-Anfal : 128).
Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati Allah.
Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah, maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya.
Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah dari pada para Nabi ? []

di 16.48 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Dalam terminologi yurisprudensi (hukum) Islam, kata Ijtihad dan Taqlid adalah dua kata yang tidak asing dan telah menjadi bahan pembahasan para fuqaha dan ushuliyyun sejak generasi terdahulu sampai sekarang.
Akhir-akhir ini bahasan tentang keduanya mulai marak kembali, khususnya ketika muncul sebuah gerakan yang menamakan dirinya sebagai pengikut Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saaw. Mereka acapkali disebut dengan mujaddidin (kaum pembaharu).
Gerakan mujaddidin menolak segala bentuk taqlid, khususnya kepada para mujtahid yang telah wafat seperti Imam Abu Hanifah (80-150H), Imam Malik Bin Anas (93-179 H), Imam Syafi’i (150-198 H) dan Imam Ahmad Bin Hambal (164-241 H). Kehadiran mereka tidak dapat dipungkiri lagi, bahkan mengundang reaksi yang cukup keras dari kaum taqlidiyyin (para pengikut empat imam mujtahid tersebut).
Letak perbedaan kedua golongan ini, mujaddidin dan taqlidiyyin, sehubungan dengan masalah hukum Islam, adalah kaum mujaddidin berpendapat bahwa umat Islam hanya harus mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak boleh mengikuti selain keduanya. Dengan demikian setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Hadis secara langsung, tidak diperbolehkan mengikuti (taqlid) kepada pendapat ulama.
Sementara kaum taqlidiyyin berpendapat, bahwa sah-sah saja seorang muslim mengikuti pendapat seorang ulama, khususnya para imam mazhab yang empat, karena pendapat mereka tidak lepas dari empat dasar hukum, Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Apalagi mereka lebih dekat ke zaman kenabian dari pada umat Islam sekarang ini.
Lebih dari itu kaum taqlidiyyin membatasi ijtihad hanya kepada empat imam mazhab tersebut. Dengan pengertian, setelah keempat mujtahid tersebut tidak ada lagi mujtahid yang lain. Walaupun ada, maka itu hanya sebagai mujtahid fatwa bukan mujtahid mutlak, seperti Imam Nawawi di Mesir dan Imam Rafi’i di Suria.
Jadi satu pihak mewajibkan setiap muslim merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah, walaupun dengan seperangkat ilmu alat seadanya serta dengan latar belakang pendidikan yang berbeda.
Dengan kata lain, menurut pihak ini setiap muslim harus berijtihad (definisi ijtihad pada keterangan berikut) dan diharamkan taqlid. Sementara di pihak lain menutup pintu ijtihad rapat-rapat, sehingga tidak diperkenankan seseorang setelah empat imam mujtahid untuk berijtihad. Mereka harus mengikuti salah satu dari empat imam mujtahid tersebut.


Definisi Ijtihad
Sebelum mendiskusikan masalah ijtihad dan taqlid, terlebih dahulu perlu dijelaskan definisi ijtihad. Para ushuliyyun (pakar ushul fiqh) dan fuqaha dalam mendefinisikan ijtihad berkata, Ijtihad adalah mencurahkan segenap upaya untuk mendapatkan hukum syari’at dari sumber aslinya.
Ulama Ahlu Sunnah dan Syi’ah berpendapat, bahwa sumber hukum Islam yang utama adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan mereka beranggapan bahwa segala kasus yang dihadapi umat manusia pasti ada penyelesaiannya dalam Islam (Al-Qur’an dan Sunnah) baik secara langsung atau tidak dan kaum muslimin wajib merujuk dan mengikuti keduanya.
Yang menjadi masalah, apakah setiap orang muslim dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Sunnah, atau lebih dari itu apakah setiap muslim mampu bahkan harus mengambil hukum langsung dari keduanya ?
Oleh karena masalah ijtihad adalah masalah bakat (malakah) yang ada pada seseorang, yang dengannya dia mampu menarik hukum (istinbath) dari sumber-sumbernya (Kitab Rasail, karya Imam Khumainy), maka tidak realistis kalau setiap muslim harus berijtihad. Karena setiap orang mempunyai bakat dan kecenderungan yang berbeda-beda.
Sangat tidak realistis seseorang yang sibuk dengan keahliannya dalam bidangnya seperti dokter, insinyur dan lainnya dituntut untuk berijtihad. Demikian pula seorang buruh yang bersusah payah membanting tulang untuk mencari nafkah seharian penuh, dituntut berijtihad.
Oleh karena itu, ijtihad tidak diharuskan atas setiap muslim. Akan tetapi, seseorang yang mempunyai bakat dan kemampuan karena penguasaannya terhadap beberapa disiplin ilmu, wajib berijtihad dan tidak boleh taqlid.
Jadi, ijtihad tidak harus dilaksanakan oleh setiap muslim dan juga tidak terbatas pada beberapa orang saja. Ijtihad dapat dilakukan oleh setiap orang yang berbakat dan mempunyai kemampuan. Persepsi ini, barangkali bisa menjadi jembatan dan penengah antara kaum mujaddidin dan kaum taqlidiyyin.
Memang, untuk menjadi mujtahid tidaklah mudah. Ayatullah Muthahhari, seorang mujtahid juga filosof menyebutkan beberapa disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mujtahid, antara lain :
1. Bahasa Arab
Mencakup nahwu, sharaf, ma’ani, bayan dan badi. Karena sumber rujukan hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab. Tanpa menguasai bahasa Arab dengan baik, seseorang sulit untuk memahami keduanya dengan baik.

2. Tafsir Al-Qur’an
3. Ilmu Manthiq atau logika
Ilmu ini membahas tentang bagaimana cara berpikir logis dan berargumentasi yang tepat. Oleh karenanya, seorang mujtahid harus menguasainya agar dia dalam menginterpretasikan hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan argumentasi yang tepat dan logis.

4. Ilmu Hadist
Seorang mujtahid harus menguasai benar hadis, asbabul wurud (konteksnya), pembagian-pembagiannya dan macam-macamnya.

5. Ilmu Rijal
Yaitu ilmu tentang perawi hadis. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang biografi setiap perawi hadis sebelum mengkaji tentang matan hadis. Karena pengetahuan tentang ilmu ini akan menentukan kedudukan hadis dan akan mempengaruhi validitas hukum yang dikeluarkan oleh seorang mujtahid dari suatu hadis.

5. Ilmu Ushul Fiqih
Ilmu yang membahas tentang cara mengintrepretasikan hukum (dustur istinbath). Ilmu ini menggunakan peranan dari setiap disiplin ilmu yang dibutuhkan dalam istinbath (kitab al-Halaqat, karya Ayatullah Muhammad Baqir Shadr).
Banyak bahasan yang tercakup dalam ilmu ini, misalnya apakah setiap kata kerja perintah (fi’il amr) mengandung arti wajib (al-wujub) atau tidak ? kalau tidak mengapa dan kapan ? atau misalnya bahasan tentang hujiyyah dhawahir yang ringkasnya apakah pemahaman secara lahiriah seorang mujtahid tentang sebuah ayat atau hadis itu (berstatus) hujjah atau tidak dan bahasan lainnya.
Enam disiplin ilmu tersebut dapat dikuasai oleh siapa saja, sehingga tidak ada pembatasan jumlah mujtahid, tapi pada waktu yang sama keharusan menguasai enam disiplin ilmu tersebut membatasi orang-orang agar tidak menganggap enteng berijtihad (merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah) hanya dengan bermodalkan bahasa Arab yang ala kadarnya atau tanggung, apalagi hanya mengandalkan terjemahan belaka.

Bolehkah bertaqlid ?
Taqlid adalah beramal atas dasar fatwa seorang faqih / mujtahid (Lihat kitab Tahrir al-Wasilah, karya Imam Khumainy).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap muslim harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak semua orang muslim mampu merujuk kepada keduanya secara langsung (berijtihad) karena enam persyaratan tersebut, maka bagi yang tidak mampu diperkenankan bertaqlid.
Kata-kata taqlid bagi sementara kaum muslimin adalah kata yang berkonotasi negatif. Bahkan sebagian ada yang mengharamkannya. Padahal masalah taqlid adalah sesuatu yang lumrah, wajar dan logis terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kehidupan sosial umat manusia tegak atas dasar taqlid, karena taqlid tidak lain dari perbuatan seseorang yang tidak tahu merujuk kepada yang tahu dalam segala urusan. Misalnya seorang yang sakit merujuk kepada Dokter sebagai ahli kesehatan, seorang ulama meminta bantuan seorang insinyur ketika hendak membangun masjid dan pesantren dan sebagainya.
Setiap orang yang tidak tahu dalam satu masalah atau urusan pasti merujuk kepada yang ahli dalam masalah dan urusan tersebut. Itulah yang dinamakan taqlid. Dalam hal ini tidak ada yang menganggap taqlid itu tidak baik.
Demikian halnya dalam masalah syariat atau hukum (baca, fiqih), tidak semua orang mampu mengambilnya langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena pengambilan langsung dari keduanya bukan sesuatu yang mudah, akan tetapi perlu ada spesialisasi. Nah, orang yang awam tentang syariat, baik itu pedagang, petani, kaum intelek dan lainnya yang tidak membidangi syariat secara khusus, mau tidak mau mereka harus merujuk kepada orang yang ahli dalam masalah syariat. Alasan ini dalam istilah para ushuliyyun dan fuqaha disebut al-uruf al-uqala’i.
Disamping itu ada beberapa ayat yang oleh sebagian ulama dijadikan dalil tentang diperbolehkannya taqlid dalam urusan syari’at, antara lain :

1. Surat At-Taubah ayat 122
Tidak sepatutnya bagi semua orang mukmin pergi (berjihad). Mengapa tidak pergi dari setiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk tafaqquh (belajar secara mendalam) dalam urusan agama. Dan (setelah itu) mereka hendaknya memberi peringatan kepada kaumnya kalau kembali kepada mereka, agar mereka dapat menjaga diri mereka.
Ayat ini secara implisit menyatakan, bahwa kewajiban orang yang tidak bertafaqquh untuk mengikuti dan menerima keterangan orang-orang yang bertafaqquh.

2.Surat Al-Anbiya ayat 70
Maka bertanyalah kepada ahli dzikir, jika kalian tidak mengetahui.
Ayat ini mengandung arti yang umum, karena ahli dzikir dapat diartikan sebagai ahli kitab, jika yang menjadi mukhatab (obyek) adalah kaum musyrikin dan juga dapat diartikan sebagai para imam atau ulama (ketika tidak ada imam) kalau yang menjadi mukhatab adalah umat Islam. Berdasarkan pengertian kedua, ketika Allah menyuruh umat Islam bertanya kepada para imam dan ulama, berarti mereka harus menerima jawaban yang diberikan oleh mereka.

Kesimpulan
Dalam mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, secara garis besar terdapat dua cara, pertama ijtihad dan kedua taqlid. Keduanya dibenarkan dan berlaku untuk seluruh kaum muslimin. []

di 16.48 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Ayat-ayat tentang ketuhanan yang telah anda baca pada tulisan sebelumnya, disamping ayat fitrah dan afaqi terdapat pula beberapa ayat Qur’an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (burhan aqli).
Dalam hal ini kami akan mencoba mengupas beberapa ayat tentangnya, antara lain :
1. Surat Al-Anbiya ayat 22
Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.
Dalam terminologi ilmu mantiq (logika Aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan Qiyas Istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali. Ia mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali itu keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit.
Sehubungan dengan ayat tersebut, jika Tuhan itu berbilang teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut oleh para mutakalimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu.
Yang menentukan benar tidaknya qiyas istitsna’i ini, adalah sejauh mana konsekuensi logis
(mulazamah aqliyyah) atau keterkaitan antara muqaddam dan tali. Jika konsekuensi logis dan keterkaitan itu dapat dipertanggung jawabkan, maka qiyas itu benar. Sebaliknya, jika keduanya tidak dapat dipertanggung jawabkan, maka qiyas itu tidak benar.

2. Surat Al-Mukminun ayat 91
Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping-Nya. (Karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian lainnya.
Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka.
Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan.
Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya ? Jika dapat, maka yang kalah bukan Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan karena Tuhan adalah Maha Kuasa.

3. Surat Al-Isra ayat 42
Katakanlah, seandainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik Arsy.
Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan dua ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i.
Allamah Thabathaba’i dalam mengomentari ayat di atas berkata, Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa Tuhan di samping Allah Ta’ala, sebagaimana yang mereka yakini dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu. (Tafsir Al-Mizan, jilid 13 halaman 106-107).
Dalam ayat tersebut disinggung kata-kata Arsy sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya sebagai bukti kebesaran mereka.

4.Surat Al-Qashash ayat 71-72
Katakanlah, Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian ? Maka apakah kalian tidak mendengar ?

Katakanlah, Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat ? Tidakkah kalian perhatikan ?
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Maha Kuasa.

5. Surat Al-Baqarah ayat 258
Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat ? Maka terdiamlah orang kafir.
Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan Raja Namrud yang mengaku sebagai Tuhan. Beliau ingin mematahkan argumen Namrud, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.
Sudah tentu permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Raja Namrud, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam.
Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang Nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik.
Sehubungan hal di atas, Allah Ta’ala sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan beliau dengan orang-orang musyrik, misalnya dalam surat Al-Anbiya ayat 62 sampai ayat 65.

6. Surat Al-Maidah ayat 17
Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah Al-Masih putera Maryam. Katakanlah, Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan Al-Masih putera Maryam dan ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini ?
Penuhanan Nabi Isa as. sudah berlangsung ada sejak zaman diturunkannya Al-Qur’an, bahkan jauh sebelumnya.
Dengan ayat di atas Allah ingin menyatakan, bahwa Isa Al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa Al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.

7. Surat Al-An’am ayat 101
(Tuhan) Pencipta langit dan bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia tidak beristri ? Dia telah menciptakan sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

8. Surat Fathir ayat 15
Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Kata faqir berarti sesuatu atau seorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir, artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Shadra, seorang filosof muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqr wujudi. Pengertian benar-benar faqir diambil dari huruf alif lam ta’rif pada kata al-fuqara (lihat teks arabnya yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr).
Sedangkan kata al-Ghani berarti yang tidak membutuhkan apapun. Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa. Ketidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.

9. Surat Al-Hadid ayat 3
Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Termasuk keMaha Sempurnaan Allah, adalah Dia yang paling pertama dan terdahulu sehingga tiada yang lebih dahulu dari-Nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang paling akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya.
Demikian pula Dia yang paling tampak dan jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi. Itu semua ada pada-Nya, karena Dialah illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).

10. Surat Asy-Syura ayat 11
Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.
Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah Ta’ala. Tiada satupun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh dan berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya. []

di 16.47 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Sebelum menyebutkan ayat-ayat yang berkenaan dengan ketuhanan, kami terlebih dahulu ingin menjelaskan bahwa Al-Qur’an tidak pernah melarang umat manusia menggunakan akalnya. Bahkan, menganjurkan mereka untuk menggunakan akalnya.
Allah Ta’ala berfirman, Sungguh, Kami turunkan Al-Qur’an dengan (berbahasa) Arab, agar kalian berpikir. (QS. Yusuf 2). Banyak ayat-ayat senada lainnya yang diakhiri dengan kalimat afala ta’qilun, afala ta’lamun, atau afala yafqahun.
Selain itu, Al-Qur’an menganggap orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang, dengan ungkapan, Mereka memiliki akal, tetapi mereka tidak memahami (berpikir). Mereka mempunyai mata, tapi mereka tidak melihat dan mereka mempunyai telinga, tetapi mereka tidak mendengar. Mereka bagaikan binatang, bahkan lebih rendah dari binatang. Mereka adalah orang-orang yang lengah. (QS. Al-Araf : 179).
Al-Qur’an sendiri mengujikan kebenaran dirinya kepada akal, Tidakkah mereka merenungkan Al-Qur’an. Sekiranya ia bukan dari Allah, pasti mereka mendapatkan perselisihan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa : 82).
Ayat di atas ditujukan kepada orang-orang yang telah meyakini wujud Allah, namun mereka masih ragu apakah Al-Qur’an itu kalamullah atau bukan. Karena itulah Allah berfirman, Sekiranya Al-Qur’an bukan dari Allah, maka pasti mereka menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya.
Akan tetapi, karena tidak ditemukan perselisihan di dalamnya, berarti Al-Qur’an itu benar-benar dari Allah. Argumentasi yang dipakai Al-Qur’an semacam ini, dalam istilah para ahli mantiq (logika), dinamakan Qiyas Istitsna’i.
Jadi, akal dijadikan sebagai alat yang digunakan untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan sebatas ruang lingkup dirinya sendirinya.
Dengan demikian, benarkah Al-Qur’an melarang penggunaan akal ? Bagaimana pulakah Al-Qur’an berbicara tentang ketuhanan ?
Perlu diketahui, bahwa Al-Qur’an dijadikan sebagai dalil atas wujud Allah setelah terbuktikan keberadaan-Nya melalui akal. Oleh karena itu, kalangan Syi’ah Imamiah menjadikan Al-Qur’an sebagai penguat dan pendukung dalil-dalil aqli (Lihat Buletin Risalatuna, edisi nomor 3).
Terdapat beberapa metode pendekatan yang dipakai Al-Qur’an dalam membahas tentang wujud Allah Ta’ala, antara lain sebagai berikut :
Fitrah
Pada beberapa ayat Al-Qur’an, masalah Tauhid atau ketuhanan dianggap sebagai masalah fitrah, sehingga tidak perlu lagi dicari dalilnya, karena ia merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Betapa seringnya Al-Qur’an berusaha membangkitkan fitrah ketuhanan ini dari kedalaman hati orang-orang yang mengingkari wujud Allah Ta’ala.
Simaklah ayat-ayat berikut, yang berbicara mengenai fitrah ketuhanan :
1. Surat Rum ayat 30 :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama sebagai fitrah Allah, yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah.
Pada ayat ini jelas sekali, bahwa Din merupakan fitrah manusia dan bagian dari fitrah manusia yang tidak akan pernah berubah.
Syekh Muhammad Taqi Mishbah, seorang mujtahid dan filosof kontemporer, ketika mengomentari ayat di atas menyatakan, bahwa ada dua penafsiran yang dapat diambil dari ayat ini,
Pertama, maksud ayat ini ialah, bahwa prinsip-prinsip agama, seperti Tauhid dan Hari Akhir, dan hukum-hukum agama secara global, seperti membantu orang-orang miskin, menegakkan keadilan dan lainnya, sejalan dengan kecenderungan manusia.
Kedua, tunduk kepada Allah Ta’ala mempunyai akar dalam diri manusia. Lantaran manusia secara fitrah, cenderung untuk bergantung dan mencintai kesempurnaan yang mutlak.
Kedua penafsiran di atas bisa diselaraskan. Penafsiran pertama mengatakan, bahwa mengenal agama adalah fitrah, sedangkan penafsiran kedua menyatakan bahwa yang fitri adalah ketergantungan, cinta dan menyembah kepada Yang Sempurna. Namun, menyembah kepada Yang Sempurna tidak mungkin dilakukan tanpa mengenal-Nya terlebih dahulu. Dengan demikian, penafsiran kedua kembali kepada yang pertama. (Ma’arif Al-Qur’an, juz 1 halaman 31-32).
Allamah Thaba’thabai memberikan penjelasan mengapa Din itu merupakan fitrah. Dalam kitab Tafsir Al-Mizan, beliau berkata, (Lantaran) Din tidak lain kecuali tradisi kehidupan dan jalan yang harus dilalui manusia, sehingga dia bahagia dalam hidupnya. Tidak ada tuhan yang ingin dicapai manusia, melainkan kebahagiaan.
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa setiap fitrah mendapat bimbingan untuk sampai kepada tujuannya masing-masing. Sebagaimana terungkap dalam firman Allah berikut,
Tuhan kami yang menciptakan segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk. (QS. Thaha: 50)
Manusia, seperti juga makhluk lainnya, mempunyai tujuan dan mendapat bimbingan agar sampai kepada tujuannya. Bimbingan tersebut berupa fitrah yang akan mengantarkan dirinya kepada tujuan hidupnya. (Tafsir Al-Mizan, juz 21 halaman 178-179).

2. Surat Al-Araf ayat 172 :
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi anak-anak Adam keturunan mereka dan mengambil kesaksian dari mereka atas diri mereka sendiri, Bukankah Aku ini Tuhan kalian ? Seraya mereka menjawab, Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi. (Hal ini Kami lakukan), agar di hari kiamat nanti kalian tidak mengatakan, Sesungguhnya kami lengah atas ini (wujud Allah).
Dalam ayat tersebut dikatakan, bahwa setiap manusia sebelum lahir ke muka bumi ini pernah dimintai kesaksiannya atas wujud Allah Ta’ala dan mereka menyaksikan atau mengenal-Nya dengan baik. Kemudian, hal itu mereka bawa terus hingga lahir ke dunia.
Oleh karena itu, manusia betapapun dia besar, kuat dan kaya, namun dia tetap tidak dapat mengingkari bahwa dirinya tidak memiliki wujud dirinya sendiri dan tidak dapat berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya. Sekiranya dia memiliki dirinya sendiri, niscaya dia dapat mengatasi berbagai kesulitan dan kematian. Dan sekiranya dia pun berdiri sendiri dalam mengurus segala urusannya, maka dia tidak akan membutuhkan fasilitas-fasilitas alam.
Ketidakberdayaan manusia dan ketergantungannya kepada yang lain, merupakan bagian dari fitrah (ciptaan) manusia. Jadi, selamanya manusia membutuhkan dan bergantung kepada yang lain. Dan dia tidak akan mendapatkan tempat bergantung yang sempurna, kecuali Allah Ta’ala semata. Itulah yang dinamakan fitrah bertuhan (fitrah ilahiyah). (Lihat kitab Tafsir Al-Mizan, juz 9 halaman 306-323).
Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, bahwa dengan dibekalinya manusia (dengan) fitrah, maka ia tidak punya alasan untuk mengingkari dan lengah atas wujud Allah Ta’ala.
Syekh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa pengetahuan dan pengakuan manusia akan Allah, dalam ayat tersebut, adalah pengetahuan yang sifatnya hudhuri-syuhudi (ilmu hudhuri) dan bukan hushuli. (Lihat kitab Ma’arif Al-Qur’an, juz 1 halaman 33)

3. Surat Yasin, ayat 60-61:
’’Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kalian, wahai anak-anak Adam, agar kalian tidak menyembah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh kalian yang nyata. Dan sembahlah Aku. Itulah jalan yang lurus.
Sebagian ulama, seperti Ayatullah Syahid Muthahhari berpendapat bahwa perintah ini terjadi di alam sebelum alam dunia dan dijadikan sebagai bukti bahwa mengenal Allah adalah sebuah fitrah (Kitab Fitrat, halaman 245).

4. Surat Al-Ankabut ayat 65 :
Dikala mereka menaiki kapal, mereka berdoa (memanggil) Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Namun, ketika Allah menyelematkan ke daratan, mereka kembali berbuat syirik.
Ayat ini menjelaskan bagaimana fitrah bertuhan itu mengalami pasang surut dalam diri manusia. Biasanya fitrah itu muncul saat manusia merasa dirinya tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan.
Dalam kitab tafsir Namuneh disebutkan, bahwa kesulitan dan bencana dapat menjadikan fitrah tumbuh karena cahaya tauhid tersimpan dalam jiwa setiap manusia. Namun, fitrah itu sendiri bisa tertutup disebabkan oleh tradisi dan tingkah laku yang menyimpang atau pendidikan yang keliru. Lalu ketika bencana dan kesulitan dari berbagai arah menimpanya, sementara dia tidak berdaya menghadapinya, maka pada saat seperti itu dia berpaling kepada Sang Pencipta. (Tafsir Namumeh, juz 16, halaman 340-341).
Oleh karena itu para ahli ma’rifat dan hikmah meyakini bahwa dalam suatu musibah terdapat hikmah yang besar, yaitu kesadaran manusia terhadap (keberadaan) Allah muncul kembali.

Ayat-ayat Afaqi
Selain menegaskan bahwa masalah tauhid adalah fitrah, Al-Qur’an juga berusaha mengajak manusia berpikir dengan akalnya, bahwa di balik terciptanya alam raya dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya (membuktikan) adanya Sang Pencipta.
Allamah Al-Hilli dalam Kitab Bab Hadi al-‘Asyr halaman 7 menjelaskan, bahwa para ulama dalam upaya membuktikan wujud Sang Pencipta mempunyai dua jalan. Salah satunya adalah dengan jalan membuktikan wujud Allah melalui fenomena alam yang membutuhkan sebab, seperti diisyaratkan dalam ayat Al-Qur’an berikut ini:
Akan Kami perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di alam raya ini (afaq) dan di dalam diri mereka sendiri, sehingga jelas bagi mereka bahwa sesungguhnya Dia itu benar (Haq). (QS. Fushilat: 53).
Inilah jalan yang ditempuh Nabi Ibrahim as. Pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as. seperti ini dalam mencari Tuhan, yang sebenarnya beliau tujukan untuk mengajak kaumnya berpikir merupakan metode Afaqi yang efektif sekali.
Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat langsung ayat-ayat yang menjelaskan pengembaraan rasional Nabi Ibrahim as tersebut dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 75 sampai 79.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengajak kita untuk merenungkan fenomena alam dan keunikan-keunikan makhluk yang ada di dalamnya sangatlah banyak. Tentang hal ini, kami mencoba mengklasifikasikannya dalam dua kelompok:
Pertama, ayat-ayat tentang benda-benda mati di langit dan di bumi. Misalnya ayat yang berbunyi, Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang memiliki akal. (QS. Ali Imran:190).
Atau ayat lain yang berbunyi, ‘’Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan apa yang Allah ciptakan di langit dan di bumi, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Yunus: 6). Untuk menambah wawasan tentang ayat-ayat semacam ini, bacalah pula surat An-Nahl ayat 3 sampai 17.
Kedua ayat tersebut dan ayat-ayat lainnya, memandang langit dan seisinya serta bumi dan segala yang terkandung di dalamnya, sebagai tanda dan bukti wujud Allah ta’ala. Karena secara akal tidak mungkin semua itu ada dengan sendirinya, di samping semua itu akan mengalami perubahan atau hadits. (Lihat pembahasan Burhan Huduts).
Demikian pula yang terdapat pada peristiwa peredaran matahari dan bulan serta benda-benda langit lainnya yang teratur, tanam-tanaman di dalam bumi yang disirami air yang tumbuh besar lalu mengeluarkan ranting-ranting yang dihiasi dengan dedaunan yang rindang dan memberikan berbagai buah-buahan dengan seribu rasa. Subhanallah.
Begitulah semuanya berlangsung dengan sangat teratur. Tiada lain semua hal itu menunjukkan wujud Allah Ta’ala semata. (Lihat pembahasan Burhan an-Nidham).
Kedua, ayat-ayat tentang keunikan berbagai ragam binatang. Diantaranya ayat yang berkenaan dengan kehidupan lebah berikut ini, Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah, buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, pada pohon-pohon dan tempat-tempat yang dibuat manusia. Kemudian makanlah dari berbagai buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan. Lalu dari perut lebah tersebut akan keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya. Padanya terdapat obat untuk manusia. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir. (QS. An-Nahl: 68-69).
Seekor lebah akan hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain untuk menghisap cairan yang terkandung di dalamnya, lalu darinya dihasilkan madu yang lezat dan dapat dimanfaatkan sebagai penawar penyakit. []

di 16.46 Diposting oleh sindoro 1 Comment

Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya fitrah mereka redup atau bahkan padam.
Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para ahli ma’rifat berkata, Jalan-jalan menuju ma’rifatullah sebanyak nafas makhluk. Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli Hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur’an dan Hadis). Mereka beralasan dengan adanya sejumlah ayat dan riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra’yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur’an dan Hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) aqli. Pada tulisan berikutnya, insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur’an, Hadis dan konsep ketuhanan.
Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ?
Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal.
Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan sangat naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur’an, sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur’an itu sendiri Al-Qur’an, yaitu Allah Ta’ala.
Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur’an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal ini berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur’an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah ?
Mereka menjawab, Karena Al-Qur’an mengatakan demikian. Maka terjadilah daur (Lingkaran setan ?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur’an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli.
Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofi.
Pada kesempatan ini, insya Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas.

Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala
1. Burhan Nidham (keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa muqadimah (premis). Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati.
Kedua, bahwa alam bendawi (tabiat) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam.
Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas (illiyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab (illat) dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab akibat, adalah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa atau illatul ilal).
Keempat, sebab atau illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu sebab yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup.
Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa sebab yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu.
Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, diantaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang paling menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah menusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?.
Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai ‘’sebab’’ atau ‘illat, dan ‘’sebab’’ tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai ‘’sebab’’ segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta’ala.

2. Burhan al-Huduts (kebaruan)
al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada kemudian ada. Burhan ini terdiri atas beberapa hal :
Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi.
Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena ‘’sebab’’ sesuatu.
Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah Ta’ala.

Burhan-burhan Aqli-filosofi tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala.
A. Burhan Imkan
a. Sebelum menguraikan burhan ini, ada beberapa istilah yang perlu diperjelas terlebih dahulu Wajib, yaitu sesuatu yang wujudnya pasti, dengan sendirinya dan tidak membutuhkan kepada yang lain.
b. Imkan atau mumkin, sesuatu yang wujud (ada) dan ‘adam (tiada) baginya sama saja (tasawiy an-nisbah ila al-wujud wa al-‘adam). Artinya, sesuatu yang ketika ‘ada’ disebabkan faktor eksternal, atau keberadaannya tidak dengan sendirinya. Demikian pula, ketika ‘tidak ada’ disebabkan oleh faktor eksternal pula, atau ketiadaannya juga tidak dengan sendirinya. Dia tidak membias kepada wujud dan kepada ketiadaan. Menurut para filosof, hal ini merupakan ciri khas dari mahiyah (esensi).
c. Mumtani atau mustahil, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ada dan tidak mungkin terjadi, seperti sesuatu itu ada dan tiada pada saat dan tempat yang bersamaan (ijtima’un-naqidhain).
d. Daur (siklus atau lingkaran setan) Misal, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, sedangkan B keberadaannya tergantung/membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian pula B tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Dengan demikian, A tidak akan ada tanpa B dan pada saat yang sama A harus ada karena dibutuhkan B. Ini berarti ijtima’un naqidhain (lihat Mumtani’). Contoh lainnya, A keberadaannya tergantung/membutuhkan B, dan B keberadaannya tergantung/membutuhkan C, sedangkan C keberadaannya tergantung/ membutuhkan A. Jadi, A tidak mungkin ada tanpa keberadaan B terlebih dahulu, demikian juga B tidak mungkin ada tanpa keberadaan C terlebih dahulu, demikian juga C tidak mungkin ada tanpa keberadaan A terlebih dahulu. Daur adalah suatu yang mustahil adanya.
e. Tasalsul, yaitu susunan sejumlah ‘illat dan ma’lul, dengan pengertian bahwa yang terdahulu menjadi ‘illat bagi yang kemudian, dan seterusnya tanpa berujung. Tasalsul sama dengan daur, mustahil adanya.

Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa poin sebagai berikut ini:
Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin.
Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, secara langsung atau lewat perantara. Kalau tidak membutuhkan kepada yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil.
Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta’ala.

B. Burhan Ash-Shiddiqin
Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Ahlul Bayt as. yang berbunyi, Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya. (Doa Shahabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, Burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri. Para ahlui mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi. Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan.
Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini. Diantaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, Dengan demikian, yang wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang pertama, adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna dari-Nya dan dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan. Sedangkan yang kedua, adalah selain wujud yang wajib, yaitu perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa tegak kecuali dengan-Nya (Nihayah al-Hikmah, hal. 269).
Allamah al-Hilli, dalam komentarnya terhadap kitab Tajrid al-‘Itiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, Di luar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala), dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (untuk keberadaannya). Jika faktor itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala). Tetapi jika faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya (tasalsul) atau daur. Dan keduanya mustahil adanya[].

di 16.45 Diposting oleh sindoro 0 Comments

Pertanyaan di atas layak diketengahkan dalam rangka introspeksi diri atas keagamaan kita, sehingga kita benar-benar beragama sebagaimana mestinya. Karena betapa banyak orang beragama, namun keberagamaan mereka sekedar warisan dari orang tua atau lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada sebagian orang beranggapan, bahwa agama hanya sebagai pelengkap kehidupan yang sifatnya eksidental.
Mereka tidak ambil peduli yang lazim terhadap agama. Karenanya mereka beragama asal-asalan, sekedar tidak dikatakan tidak beragama. Gejala perpindahan dari satu agama kepada agama yang lain bukanlah semata karena faktor ekonomi. Bahkan, anggapan bahwa semua agama itu sama merupakan akibat dari ketidak pedulian yang lazim terhadap agama. Gejala pluralisme semacam ini menjadi trend abad kedua puluh.
Dalam persepsi mereka, membicarakan agama adalah suatu hal yang sangat sensitif dan akan merenggangkan hubungan antara manusia. Agama merupakan sesuatu yang sangat personal dan tidak perlu diungkap dalam forum-forum umum dan terbuka. Jika harus berbicara agama pun, maka ruang lingkupnya harus dibatasi pada sisi peribadatan saja.
Agama telah dirampingkan, sedemikian rupa sehingga, hanya mengurus masalah-masalah ritual belaka. Agama jangan dibawa-bawa ke dalam kancah politik, sosial dan ekonomi. Karena jika agama dibawa ke dalam arena politik dan sosial, maka akan terjadi perang antar agama dan penindasan atas agama tertentu oleh agama yang berkuasa. Demikian pula, jika agama diperan aktifkan dalam urusan ekonomi, maka akan membatasi kebebasan perilaku menimbun kekayaan, karena banyak lampu-lampu merah dan peringatan-peringatan yang sudah tentu akan menghambat kelancaran bisnis.
Apakah benar demikian ?
Tentu, bagi mereka yang masih memiliki keterikatan dengan agama akan mengatakan, bahwa pernyataan di atas relatif kebenarannya. Sebab, boleh jadi pernyataan di atas adalah suatu kesimpulan dari beberapa kasus sejarah yang parsial dan situasional, bahkan tidak bisa digeneralisasikan.
Namun bagi kaum muslimin, pernyataan di atas sama sekali tidak benar, karena secara teoritis agama Islam adalah pegangan hidup (way of life) yang lengkap dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, baik secara individu maupun kemasyarakatan. Islam agama yang sangat luas dan fleksibel. Secara praktek hal ini telah dibuktikan, bahwa dalam sebuah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam dengan baik, kehidupan masyarakatnya baik muslim atau non muslim aman, damai dan sejahtera, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan di dalamnya maju pesat.
Yang menjadi acuan kita, adalah bagaimana seharusnya kita beragama, agar ajarannya benar-benar terasa dan mewarnai seluruh aspek kehidupan kita.
Sebagaimana telah kita bahas pada edisi sebelumnya, bahwa ajaran-ajaran Din terdiri atas tiga macam, yaitu aqidah (keyakinan), syariah (hukum atau fiqih) dan akhlaq. Semuanya harus kita perhatikan secara proporsional. Di sini kami akan menjelaskan, walaupun ringkas, ketiga jenis ajaran tersebut.

1.Aqidah
Aqidah adalah perkara-perkara yang mengikat akal, pikiran dan jiwa seseorang (Mabani-e Syenakht, Syeikh Muhammad Raysyahri). Misalnya, ketika seseorang meyakini adanya satu Dzat yang senantiasa mengawasi gerak-gerik kita, maka keyakinan tersebut mengikat kita sehingga kita tidak leluasa berbuat sesuatu yang akan menyebabkan-Nya murka.
Pada dasarnya, inti dari aqidah semua agama, adalah keyakinan akan eksistensi Dzat Pencipta alam raya ini dan ini merupakan fitrah manusia. Dengan demikian, dari sisi ini semua agama sama, khususnya agama samawi. Allah Ta’ala berfirman, Katakanlah wahai ahli kitab, marilah kita menuju (membicarakan) kalimat (keyakinan) yang sama antara kami dan kalian. (QS. Ali Imran : 64).
Namun perbedaan muncul ketika berbicara tentang siapa pencipta alam raya ini, bagaimana wujud-Nya, apakah tunggal atau berbilang, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang berkaitan dengan ketuhanan.
Tentu, tidak mungkin semua agama itu benar dalam memahami Dzat Pencipta. Oleh karenanya, hanya ada satu agama yang benar dalam memahami siapa dan bagaimana Dzat Pencipta itu.
Lalu bagaimana cara menentukan mana agama yang benar ?
Dalam hal ini, masing-masing agama tidak bisa membicarakan hal itu menurut kaca matanya sendiri, baik melalui kitab sucinya atau pendapat para pakarnya. Umat Islam tidak bisa membuktikan bahwa Tuhan itu Allah dengan Al-Qur’an maupun Hadis, atau umat Kristiani dengan kitab Injilnya. Demikian pula umat lainnya.
Berbicara tentang siapa dan bagaimana Tuhan Pencipta, harus dengan sesuatu yang disepakati dan dimiliki oleh setiap agama, yaitu akal. Keunggulan dan keberhasilan suatu agama atau aliran, tergantung sejauh mana dapat dipertahankan kebenarannya oleh akal. Maka di sinilah perlunya kita mempelajari aqidah melalui pendekatan akal, atau yang sering disebut dengan ushuluddin, ilmu tauhid dan ilmu kalam (theologi).
Bagaimana kita beraqidah atau bagaimana cara kita mempelajari aqidah ?
Ayatullah Muhammad Ray Syahri dalam kitab Mabani-e Syenakht membagi manusia yang beraqidah kepada dua kelompok, yaitu sebagian orang beraqidah atas dasar taqlid dan lainnya beraqidah atas dasar tahqiq. Taqlid ialah menerima pendapat orang tanpa dalil dan argumentasi (burhan) aqli, sebaliknya tahqiq adalah menerima pendapat berdasarkan dalil dan argumentasi (burhan) aqli.
Beraqidah atas dasar taqlid, menurut akal tidak dapat dibenarkan. Karena masalah aqidah adalah masalah keyakinan dan kemantapan, sementara taqlid tidak memberikan keyakinan dan kemantapan. Oleh karenanya, alangkah banyak kalangan awam, dalam masalah keagamaan, karena satu dan lain hal, pindah agama atau keluar dari agamanya. Al-Qur’an sendiri, dalam beberapa ayatnya, mengkritik cara berpikir seperti ini, yang merupakan cara berpikir yang biasa dijadikan alasan oleh orang-orang musyrik untuk tidak mengikuti ajakan para Nabi. Misalnya, Al-Qur’an mengatakan, Jika dikatakan kepada mereka, Ikutilah apa yang Allah turunkan. Mereka menjawab, Tidak. Akan tetapi kami mengikuti (melakukan) apa yang kami dapati dari pendahulu kami. (QS. Luqman : 21).
Selain itu, Al-Qur’an juga melarang mengikuti sesuatu tanpa pengetahuan, Dan janganlah kalian mengikuti apa yang tidak kalian ketahui. (QS. Al-Isra : 36). Bahkan Al-Qur’an menyebut orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang yang paling buruk, Sesungguhnya binatang yang paling buruk di sisi Allah adalah orang yang bisu dan tuli, yaitu orang-orang yang tidak berpikir. (QS. Al-Anfal : 22) dan ayat-ayat lainnya.
Disamping itu, terdapat sejumlah Hadis Rasulullah saaw yang menganjurkan umatnya agar beragama atas dasar pengetahuan. Antara lain Hadis yang berbunyi, Jadilah kalian orang yang berilmu atau yang sedang menuntut ilmu, dan jangan menjadi orang yang ikut-ikutan. (Kitab an-Nihayah Ibnu Atsir, jilid I hal. 67)
Ala kullihal, akal diciptakan sebagai sumber kekuatan manusia untuk mengetahui kebenaran dan kesalahan. Salah seorang Ma’shumin berkata, Allah mempunyai dua hujjah (bukti kebenaran), hujjah lahiriah dan hujah batiniah. Hujah lahiriah adalah para Rasul dan hujjah batiniah adalah akal. Sementara itu, para Mutakalimin dan filosof muslim telah bersusah payah membangun argumentasi-argumentasi rasional yang kuat dan kokoh tentang pembuktian keberadaan Allah Ta’ala.
Dengan demikian, kesimpulan yang dapat kita tarik dari keterangan di atas, adalah bahwa dalam masalah aqidah seseorang mesti bertahqiq dengan dalil-dalil akal, dan tidak boleh ber-taqlid.

2. Syariat
Syariat menurut arti bahasa adalah tempat mengalirnya air. Lalu syariat diartikan lebih luas, yaitu untuk segala jalan yang mengantarkan manusia kepada maksudnya (lihat Tafsir Namuneh dan Tafsir Mizan dalam menafsirkan surat Al-Jatsiyah ayat 18).
Dengan demikian, Syariat Islamiyah berarti jalan yang mengantarkan umat manusia kepada tujuan Islami.
Setelah seseorang meyakini keberadaan Allah sebagai Pencipta dan Pemberi kehidupan sesuai dengan dalil-dalil akal, maka konsekuensi logisnya (bil mulazamah aqliyyah) dia akan merasa berkewajiban untuk menaati dan menyembah-Nya. Namun sebelumnya, tentu dia harus mengetahui cara bertaat dan menyembah kepada-Nya, agar tidak seperti orang-orang Arab Jahiliyah yang menyembah Allah, namun melalui patung-patung (QS. Az-Zumar : 3).
Mereka, sesuai dengan fitrah illahiah, meyakini keberadaan Tuhan Sang Pencipta alam raya. Berkenaan dengan itu, Allah Ta’ala berfirman, Jika kamu bertanya kepada mereka, Siapakah yang menciptakan bumi dan langit ? Niscaya mereka menjawab, Allah. (QS. Lukman : 25). Kemudian, mereka ingin mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya (menyembah-Nya), sebagaimana Allah lukiskan dalam firman-Nya, Sebenarnya kami menyembah patung-patung sebagai upaya mendekatkan diri kami kepada Allah semata. (QS. Az-Zumar : 3). Meskipun mereka meyakini keberadaan Allah Ta’ala, namun mereka salah dalam cara mengadakan hubungan dan berkomunikasi dengan-Nya.
Nah, agar tidak terjadi kesalahan dalam kontak dan komunikasi dengan Allah, maka kita mesti melakukannya menurut cara yang dihendaki-Nya dan tidak mengikuti cara yang kita inginkan. Allah dengan luthf-Nya (upaya mendekatkan hamba pada ketaatan dan menjauhkannya dari kemaksiatan) mengutus para Nabi dan menurunkan kitab untuk mengajarkan tata cara menyembah (beribadah). Oleh karena itu, kita mesti mengikuti bagaimana Rasulullah saaw beribadah, ‘’Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihat aku shalat.’’
Kaum muslimin yang menyaksikan Rasulullah beribadah secara langsung, tidak mengalami kesulitan untuk mengikuti beliau. Namun, bagi kita yang telah dipisahkan dari beliau dengan rentang waktu yang cukup panjang (lima belas abad), untuk mengetahui cara beliau beribadah hanyalah dapat dilakukan melalui perantaraan Al-Qur’an dan Hadis. Dan untuk memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis tidaklah mudah.
Menyangkut Al-Qur’an, Imam Ali bin Abi Thalib as. berkata, Kitab Tuhan kalian (berada) di tengah-tengah kalian. Ia menjelaskan tentang halal dan haram, kewajiban dan keutamaan, nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), rukhshah dan azimah, khusus dan umum, ibrah dan perumpamaan, mursal (mutlaq) dan mahdud (muqayyad), muhkam (ayat yang jelas maksudnya)… (Tashnif Nahjul Balaghah : 207). Sedangkan mengenai Hadis yang sampai kepada kita, ribuan jumlahnya dari berbagai kitab Hadis dan tidak sedikit darinya terdapat pertentangan satu dengan lainnya.
Dengan demikian, untuk dapat memahami maksud Al-Qur’an dan Hadis, harus terlebih dahulu menguasai sejumlah disiplin ilmu dengan baik, antara lain Bahasa Arab, Tafsir, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, Mantiq, Ilmu Rijal, Ulumul Hadis dan sebagainya.
Orang yang telah menguasai semua disiplin ilmu tersebut dengan baik, dia dapat ber-istinbath (meng-interpretasi-kan hukum) secara langsung dari Al-Qur’an dan Hadis (pelakunya disebut mujtahid). Tetapi orang yang tidak menguasai semua ilmu di atas dengan baik, maka cukup baginya mengikuti (bertaqlid) kepada hasil istinbath seorang mujtahid. Dalam masalah aqidah taqlid tidak diperkenankan, sementara dalam masalah syariat taqlid diperbolehkan.

3. Akhlak
Para ulama dalam mengartikan akhlak umumnya mengatakan, Akhlak adalah ilmu yang menjelaskan tentang mana yang baik dan yang buruk, serta apa yang harus diamalkan. Mereka membagi ilmu akhlak kepada dua bagian, yaitu akhlak teoritis dan akhlak praktis. Mempelajari dan mengamalkan akhlak sangat diperlukan, sebagai proses mencapai tujuan hidup, yaitu kesempurnaan.
Kalimat penutup, sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana seharusnya kita beragama, adalah beraqidah atas dasar tahqiq dan menjalankan syariat dengan baik atas dasar ijtihad atau taqlid dan berakhlak.