Ayat-ayat tentang ketuhanan yang telah anda baca pada tulisan sebelumnya, disamping ayat fitrah dan afaqi terdapat pula beberapa ayat Qur’an yang menjelaskan tentang ketuhanan melalui pendekatan argumentasi rasional (burhan aqli).
Dalam hal ini kami akan mencoba mengupas beberapa ayat tentangnya, antara lain :
1. Surat Al-Anbiya ayat 22
Seandainya di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, niscaya keduanya akan rusak.
Dalam terminologi ilmu mantiq (logika Aristotelian) argumentasi di atas disebut dengan Qiyas Istitsna’i. Qiyas ini terdiri dari dua unsur yang disebut dengan muqaddam dan tali. Ia mempunyai beberapa bentuk, salah satunya ialah jika tali itu benar maka muqaddam benar juga, dan jika tali itu keliru maka dengan sendirinya muqaddam keliru. Dalam aplikasi kehidupan sehari-hari mereka seringkali memberi contoh seperti ini, jika matahari terbit maka siang tiba, namun jika siang belum tiba berarti matahari belum terbit.
Sehubungan dengan ayat tersebut, jika Tuhan itu berbilang teratur dan seimbang, namun kenyataannya alam raya ini teratur dan seimbang, berarti Tuhan tidak berbilang. Dalil ini disebut oleh para mutakalimin dan filosof dengan istilah dalil tamanu.
Yang menentukan benar tidaknya qiyas istitsna’i ini, adalah sejauh mana konsekuensi logis
(mulazamah aqliyyah) atau keterkaitan antara muqaddam dan tali. Jika konsekuensi logis dan keterkaitan itu dapat dipertanggung jawabkan, maka qiyas itu benar. Sebaliknya, jika keduanya tidak dapat dipertanggung jawabkan, maka qiyas itu tidak benar.
2. Surat Al-Mukminun ayat 91
Tidaklah Allah mempunyai anak dan tidak pula ada Tuhan di samping-Nya. (Karena jika mempunyai anak dan ada Tuhan selain-Nya), maka masing-masing Tuhan akan membawa ciptaan-Nya sendiri dan sebagian akan lebih unggul dari sebagian lainnya.
Ayat ini juga menggunakan qiyas yang sama dengan ayat sebelumnya. Maksud ayat tersebut, ialah bahwa jika Tuhan itu banyak, maka masing-masing dari mereka mempunyai ciptaan sendiri-sendiri sebagai bukti kekuasaannya dan mereka akan mengaturnya sesuai dengan kemauan mereka. Tiada yang dapat memaksa dan menghalangi kemauan mereka.
Jika ada satu Tuhan yang mengalah atau dikalahkan kemauannya oleh yang lainnya, maka dia sebenarnya bukan Tuhan, karena Tuhan harus Maha Kuat dan Maha Kuasa yang tidak mungkin terkalahkan.
Lebih jelas lagi, jika Tuhan itu banyak maka mampukah sebagian mengalahkan yang lainnya ? Jika dapat, maka yang kalah bukan Tuhan, sebaliknya jika tidak dapat, maka Tuhan yang tidak bisa mengalahkan Tuhan yang lain sebenarnya bukan Tuhan karena Tuhan adalah Maha Kuasa.
3. Surat Al-Isra ayat 42
Katakanlah, seandainya terdapat beberapa Tuhan di samping-Nya, sebagaimana yang mereka yakini, niscaya mereka mencari jalan menuju Tuhan, Pemilik Arsy.
Ayat ini juga menggunakan pendekatan yang sama dengan dua ayat sebelumnya, yaitu qiyas istitsna’i.
Allamah Thabathaba’i dalam mengomentari ayat di atas berkata, Kesimpulan dalil ini ialah bahwa jika terdapat beberapa Tuhan di samping Allah Ta’ala, sebagaimana yang mereka yakini dan setiap mereka dapat meraih apa yang dimiliki-Nya, maka mereka ingin meraih kekuasaan dan akan menyingkirkan-Nya, sehingga mereka akan lebih berkuasa. Lantaran keinginan untuk berkuasa merupakan ciri dari segala sesuatu yang wujud. Namun tiada satupun yang dapat melakukan hal itu. (Tafsir Al-Mizan, jilid 13 halaman 106-107).
Dalam ayat tersebut disinggung kata-kata Arsy sebagai tempat yang sangat agung dan tinggi, serta merupakan lambang kebesaran dan kekuasaan yang paling tinggi. Mereka pasti ingin menguasainya sebagai bukti kebesaran mereka.
4.Surat Al-Qashash ayat 71-72
Katakanlah, Tidakkah kalian perhatikan, jika Allah jadikan untuk kalian malam terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan sinar terang kepada kalian ? Maka apakah kalian tidak mendengar ?
Katakanlah, Tidakkah kalian renungkan, jika Allah jadikan untuk kalian siang terus menerus sampai hari kiamat, Siapakah Tuhan selain Allah yang akan mendatangkan malam kepada kalian untuk beristirahat ? Tidakkah kalian perhatikan ?
Kedua ayat ini dengan tegas membantah kaum musyrikin yang menganggap patung-patung sebagai Tuhan. Andaikan patung-patung itu Tuhan, maka mereka harus bisa mengubah hukum alam ini, karena Tuhan adalah Dzat yang Maha Kuasa.
5. Surat Al-Baqarah ayat 258
Ibrahim berkata, Sesungguhnya Allah mendatangkan (menerbitkan) matahari dari ufuk timur, maka terbitkanlah ia dari ufuk barat ? Maka terdiamlah orang kafir.
Ayat ini menceritakan perdebatan antara Nabi Ibrahim as. dengan Raja Namrud yang mengaku sebagai Tuhan. Beliau ingin mematahkan argumen Namrud, dengan cara menyuruhnya agar memperlihatkan kekuasaan dan keperkasaannya dengan menerbitkan matahari dari ufuk barat bukan dari ufuk timur.
Sudah tentu permintaan Nabi Ibrahim as. seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh Raja Namrud, sehingga tampak jelas di mata khalayak banyak, bahwa Raja Namrud bukan Tuhan semesta alam.
Nabi Ibrahim as. dikenal sebagai seorang Nabi yang bijak dan cerdik, yang sering memojokkan lawan bicaranya dengan argumentasi yang sederhana namun akurat, sehingga lawan bicaranya dibuat tidak berkutik.
Sehubungan hal di atas, Allah Ta’ala sering mengutip dalam kitab-Nya tentang perdebatan beliau dengan orang-orang musyrik, misalnya dalam surat Al-Anbiya ayat 62 sampai ayat 65.
6. Surat Al-Maidah ayat 17
Sungguh telah kafir orang-orang yang meyakini, bahwa Tuhan itu adalah Al-Masih putera Maryam. Katakanlah, Maka siapakah yang dapat menahan Allah, jika hendak mematikan Al-Masih putera Maryam dan ibunya atau seluruh yang hidup di muka bumi ini ?
Penuhanan Nabi Isa as. sudah berlangsung ada sejak zaman diturunkannya Al-Qur’an, bahkan jauh sebelumnya.
Dengan ayat di atas Allah ingin menyatakan, bahwa Isa Al-Masih as. bukanlah Tuhan, tapi seorang manusia pilihan Allah. Karena terbukti (menurut kaum Nashrani), bahwa Al-Masih telah meninggal, apapun alasan kematiannya. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Masih itu tidak lain dari ciptaan Allah semata, karena ciri khas Tuhan adalah kekal dan sejati.
7. Surat Al-An’am ayat 101
(Tuhan) Pencipta langit dan bumi, bagaimana mungkin Dia mempunyai putera, padahal Dia tidak beristri ? Dia telah menciptakan sesuatu dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
8. Surat Fathir ayat 15
Wahai manusia, kalian adalah faqir (membutuhkan) kepada Allah, sementara Allah adalah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
Kata faqir berarti sesuatu atau seorang yang tidak mempunyai apa-apa. Allah ingin menegaskan, bahwa manusia itu benar-benar faqir, artinya benar-benar ia membutuhkan kepada Allah dalam segala perkara dan keadaan, hatta wujudnya (eksistensi dirinya). Atau dengan meminjam istilah Mulla Shadra, seorang filosof muslim dan penulis kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah, yaitu bahwa selain Allah adalah faqr wujudi. Pengertian benar-benar faqir diambil dari huruf alif lam ta’rif pada kata al-fuqara (lihat teks arabnya yang berkonotasi pembatasan atau pengkhususan (hashr).
Sedangkan kata al-Ghani berarti yang tidak membutuhkan apapun. Sifat ghani hanya ada pada Allah saja. Jadi hanya Allah sajalah yang tidak membutuhkan apa-apa. Ketidak membutuhkan apa-apa (al-ghina) kepada yang lain, merupakan ciri khas Tuhan semesta alam.
9. Surat Al-Hadid ayat 3
Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Tampak dan Yang Tersembunyi dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Termasuk keMaha Sempurnaan Allah, adalah Dia yang paling pertama dan terdahulu sehingga tiada yang lebih dahulu dari-Nya. Akan tetapi, pada saat yang sama Dia yang paling akhir, sehingga tiada yang lebih akhir dari-Nya.
Demikian pula Dia yang paling tampak dan jelas, dan tiada yang lebih jelas dari-Nya, akan tetapi pada saat yang sama Dia yang Tersembunyi. Itu semua ada pada-Nya, karena Dialah illat (prima kausa) segala sesuatu dan tidak tergantung kepada selain-Nya (al-ghani), sementara segala sesuatu bergantung kepada-Nya dalam segala sesuatu dan keadaan (al-faqir).
10. Surat Asy-Syura ayat 11
Tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.
Ayat ini ringkas, namun menjelaskan wujud dan semua sifat kesempurnaan Allah Ta’ala. Tiada satupun yang menyerupai Allah dalam segala hal, karena andaikan ada sesuatu yang menyerupai Allah, maka Dia bukan lagi Maha Esa. Dia sangat jauh dan berbeda dengan makhluk-Nya. Dengan kesendirian-Nya dalam wujud dan sifat kesempurnaan, tapi pada saat yang sama Dia sangat dekat dengan makhluk-Nya, lantaran makhluk merupakan bagian dari wujud-Nya dan dalam liputan-Nya. []
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Responses so far.
Posting Komentar
KOMENTAR ANDA