Fungsi guru telah berubah menjadi fungsi pawang, maka kembalikanlah pawang itu menjadi guru lagi. (Romo YB Mangunwijaya)
Dalam dunia pendidikan, keberadaan peran dan fungsi guru merupakan salah satu faktor yang sangat signifikan. Guru merupakan bagian terpenting dalam proses belajar mengajar, baik di jalur pendidikan formal maupun informal. Oleh sebab itu, dalam setiap upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air, tidak dapat dilepaskan dari berbagai hal yang berkaitan dengan eksistensi guru itu sendiri.
Filosofi sosial budaya dalam pendidikan di Indonesia, telah menempatkan fungsi dan peran guru sedemikian rupa sehingga para guru di Indonesia tidak jarang telah di posisikan mempunyai peran ganda bahkan multi fungsi. Mereka di tuntut tidak hanya sebagai pendidik yang harus mampu mentransformasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, tetapi sekaligus sebagai penjaga moral bagi anak didik. Bahkan tidak jarang, para guru dianggap sebagai orang kedua, setelah orang tua anak didik dalam proses pendidikan secara global.
Dalam konteks sosial Budaya Jawa misalnya, kata guru sering dikonotasikan sebagai kepanjangan dari kata “digugu dan ditiru” (menjadi panutan utama). Begitu pula dalam khasanah bahasa Indonesia, dikenal adanya sebuah peribahasa yang berunyi “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Semua perilaku guru akan menjadi panutan bagi anak didiknya. Sebuah posisi yang mulia dan sekaligus memberi beban psykologis tersendiri bagi para guru.
Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru. Seorang guru sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran yang tidak jarang, bukan merupakan corn/inti dari pengetahuan yang dimilikinya, telah menyebabkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal. Di sisi lain, jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu ruang kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal. Distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan. Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis dilingkungan sekolah dimana mereka mengajar tenaga pendidik. Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.
Profesionalisme Guru = Sebuah Tuntutan
Tidak dapat disangkal lagi bahwa profesionalisme guru merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda, seiring dengan semakin meningkatnya persaingan yang semakin ketat dalam era globalisasi seperti sekarang ini, diperlukan orang-orang yang memang benar benar-benar ahli di bidangnya, sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya agar setiap orang dapat berperan secara maksimal, termasuk guru sebagai sebuah profesi yang menuntut kecakapan dan keahlian tersendiri. Profesionalisme tidak hanya karena faktor tuntutan dari perkembangan jaman, tetapi pada dasarnya juga merupakan suatu keharusan bagi setiap individu dalam kerangka perbaikan kualitas hidup manusia. Profesionalisme menuntut keseriusan dan kompetensi yang memadai, sehingga seseorang dianggap layak untuk melaksanakan sebuah tugas. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan dalam upaya, meningkatkan profesionalisme guru, yaitu :
1. Sertifikasi sebagai sebuah sarana
Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru adalah melalui sertifikasi sebagai sebuah proses ilmiah yang memerlukan pertanggung jawaban moral dan akademis. Dalam issu sertifikasi tercermin adanya suatu uji kelayakan dan kepatutan yang harus dijalani seseorang, terhadap kriteria-kriteria yang secara ideal telah ditetapkan.
Sertifikasi bagi para Guru dan Dosen merupakan amanah dari UU Sistem Pendidikan Nasional kita (pasal 42) yang mewajibkan setiap tenaga pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar yang dimilikinya. Singkatnya adalah, sertifikasi dibutuhkan untuk mempertegas standar kompetensi yang harus dimiliki para guru dan dosen sesui dengan bidang ke ilmuannya masing-masing.
2. Perlunya perubahan paradigma
Faktor lain yang harus dilakukan dalam mencapai profesionalisme guru adalah, perlunya perubahan paradigma dalam proses belajar menajar. Anak didik tidak lagi ditempatkan sekedar sebagai obyek pembelajaran tetapi harus berperan dan diperankan sebagai obyek. Sang guru tidak lagi sebagai instruktur yang harus memposisikan dirinya lebih tingi dari anak didik, tetapi lebih berperan sebagai fasilitator atau konsultator yang bersifat saling melengkapi. Dalam konteks ini, guru di tuntut untuk mampu melaksanakan proses pembelajaran yang efektif, kreatif dan inovatif secara dinamis dalam suasana yang demokratis. Dengan demikian proses belajar mengajar akan dilihat sebagai proses pembebasan dan pemberdayaan, sehingga tidak terpaku pada aspek-aspek yang bersifat formal, ideal maupun verbal. Penyelesaian masalah yang aktual berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah harus menjadi orientasi dalam proses belajar mengajar. Oleh sebab itu, out put dari pendidikan tidak hanya sekedar mencapai IQ (intelegensia Quotes), tetapi mencakup pula EQ (Emotional Quotes) dan SQ (Spiritual Quotes).
3. Jenjang karir yang jelas
Salah satu faktor yang dapat merangsang profesionalisme guru adalah, jenjang karir yang jelas. Dengan adanya jenjang karir yang jelas akan melahirkan kompetisi yang sehat, terukur dan terbuka, sehingga memacu setiap individu untuk berkarya dan berbuat lebih baik.
4.Peningkatan kesejahteraan yang nyata
Kesejahteraan merupakan issu yang utama dalam konteks peran dan fungsi guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Paradigma professional tidak akan tercapai apabila individu yang bersangkutan, tidak pernah dapat memfokuskan diri pada satu hal yang menjadi tanggungjawab dan tugas pokok dari yang bersangkutan. Oleh sebab itu, untuk mencapai profesionalisme, jaminan kesejahteraan bagi para guru merupakan suatu hal yang tidak dapat diabaikan dan dipisahkan.
KTSP merupakan kurikulum yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas No. 19 tahun 2007, yang memungkinkan sekolah menentukan sendiri kurikulum yang diajarkan kepada para siswa. Meski dibebaskan, namun kompetensi siswa telah dirumuskan dalam KBK. Dengan kebebasan ini, seorang guru diharapkan bisa memiliki inovasi dan daya kreatifitas yang tinggi untuk menyampaikan materi kepada peserta didiknya dengan baik. Penentuan kurikulum ini bisa berbeda antar satu sekolah dengan lainnya, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan para siswa.
KTSP yang hendak diberlakukan Depertemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) bisa jadi dimaksudkan untuk mempertegas pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Artinya, kurikulum baru yang ini tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa. KTSP yang direncanakan dapat diberlakukan secara menyeluruh di semua sekolah-sekolah di Indonesia pada tahun 2009 itu juga memiliki beberapa kelebihan jika dibanding dengan kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 2004 atau KBK. Kalau dicermati lebih lanjut, KTSP membawa beberapa kemungkinan ‘pencerahan’ bagi pendidikan Indonesia diantaranya KTSP membuka peluang bagi terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan, memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa, memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, dan lainnnya. Sudah barang tentu peluang-peluang tersebut sangat menguntungkan dunia pendidikan bagi sekolah khususnya, eits, tentunya bagi yang memiliki kunci untuk membuka peluang tersebut. Bagaimana tidak, semua keistimewaan KTSP belum bisa dimiliki ketika terlalu banyak sekolah-sekolah yang masih direpotkan oleh permasalahan belum tersedia secara optimalnya SDM yang mampu mengusai KTSP secara menyeluruh, minimnya fasilitas sarana prasarana pembelajaran, dan persoalan-persoalan lainnya, termasuk kebijakan pemerintah yang mernghendaki penentuan standar pendidikan nasional (pemetaan kualitas pendidikan nasional) sebagai akhir masa pendidikan para siswa dengan UN.
KTSP DAN UN
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dibuat sesuai kreativitas guru, dan kondisi muatan lokal sangat kontradiktif dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN). Prinsip UN yang sentralistik, justru menghambat otonomi sekolah dalam mengembangkan kurikulumnya. KTSP merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan dan memberi tempat pada demokratisasi untuk penentuan kurikulum pendidikan yang sesuai dengan konteks komunitas di mana sekolah berada, konteks finansial, SDM, dan sebagainya dari sekolah yang bersangkutan. KTSP juga menyesuaikan dengan konteks kultural di mana sekolah itu berada dalam komunitas tersebut. Atas dasar ini, bobot mutu pendidikan yang direalisasikan pada suatu mata pelajaran tertentu, dari satu sekolah tertentu dengan kondisi finansial tertentu akan berbeda dengan sekolah lain di daerah lain dengan kondisi finansial yang lain pula.
KTSP sangat berorientasi pada sekolah, sementara UN sentralistik. Hal ini tentu bertolakbelakang ketika UN memberi makna standarisasi mutu pendidikan nasional yang nota bene berasal dari sekolah-sekolah yang mutunya secara signifikan berbeda-beda. Sekolah yang dekat dengan pusat administrasi negara tentu akan memperoleh informasi dengan sangat mudah dan bantuan pendidikan pun dengan mudah.
Lalu bagaimana dengan UN yang oleh banyak pihak telah dikemukakan kelemahan yang ternyata cukup membawa dampak sangat krusial, entah itu untuk semakin mencitrakan buruknya pendidikan atau sebaliknya? Mungkin dengan adanya pembenahan, UN tetap dapat dilaksanakan karena masih dianggap relevan untuk memetakan kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah yang dianggap sudah memenuhi kriteria untuk standarisasi pendidikan nasional dapat memulai UN secara serentak. Namun, tetap saja kurang bijak bila sekolah-sekolah yang belum siap harus ikut UN juga. Berbicara tentang mutu pendidikan, berbeda dengan pembicaraan mutu produk suatu industri. Dalam pendidikan dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk dapat mengetahui mutu dan kualifikasi lulusan. Mendorong semua sekolah di Tanah Air tanpa pandang bulu untuk ikut UN secara serentak tanpa memperhatikan kualifikasi SDM sekolah tersebut, fasilitas yang ada, dan sebagainya merupakan kebijakan yang kurang bijak.
Sistematika
• Alokasi waktu 120 menit yang dibagi ke dalam sesi presentasi oleh pemateri, dan sesi Tanya jawab. Mengenai management waktu dan pembagian, dapat ditentukan lebih lanjut oleh pemateri dan moderator.
• Apabila waktu dirasa tidak cukup, pemateri dapat meminta penambahan waktu yang diinginkan kepada panitia beberapa hari sebelum pelaksanaan.
• Pemateri dimohon menyiapkan makalah sebagai pegangan bagi peserta dan materi pelatihan (bila memungkinkan). Diserahkan kepada panitia min. Satu hari sebelum hari pelaksanaan dalam bentuk soft copy atau print out untuk diperbanyak oleh panitia.
• Apabila pemateri menghendaki mendesain forum, harap dikomunikasikan kepada panitia untuk dipersiapkan perlengkapan yang diperlukan.
• Apabila pemateri berhalangan, mohon konfirmasi kepada panitia min. empat hari sebelum pelaksanaan.
Oleh M. ANTON ATHOILLAH HASYIM
SEJAK terbitnya buku Max Weber "Religious Sociology", perhatian terhadap adanya hubungan antara keyakinan religius dan perilaku ekonomi menjadi semakin menarik, baik dalam sejarah ekonomi mapun dalam sosiologi agama. Karena hubungan tersebut sering dianggap terlalu luas, seringkali perhatian tersebut kemudian dibatasi kepada keyakinan religius tertentu dan perilaku ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara struktur sosial dan agama atau sistem keagamaan untuk semua peradaban selama perjalanan sejarahnya.
Agama, dalam hal ini, tidaklah diartikan sebagai sesuatu yang dengan keniscayaannya, memiliki kebenaran absolut dan berada dalam ruang dan waktu transendennya. Akan tetapi, agama diartikan sebagai bentuk pemahaman manusia terhadap apa yang mereka lihat dalam kitab-kitab suci mereka. Kitab suci sendiri merupakan wujud awal pendegradasian keniscayaan kebenaran absolut di atas agar ia dapat ditangkap, dipahami, dan diamalkan oleh mereka yang mempercayainya dalam batas-batas relativitas yang disebabkan keterbatasan immanensi mereka.
Batas-batas relativitas tersebut tampak semakin nyata manakala wujud agama telah berubah menjadi fenomena sosiologis yang tentu saja lokal dan temporal. Oleh karena itu, ditemukan banyak kesulitan untuk menjelaskan pandangan pandangan Weber di atas ketika ia tidak dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu. Hal ini berarti adanya keharusan untuk membatasi fenomena sosiologis yang hendak dijelaskan tersebut. Dengan demikian, analisis yang diberikan mesti ditujukan kepada hal-hal yang lebih khusus, seperti unit-unit sosial yang lebih kecil dan dalam kurun waktu tertentu.
Pemikiran di atas juga sejalan dengan apa yang pernah dilontarkan Mukti Ali. Menurut dia, paling tidak, ada tiga fungsi agama bagi masyarakat, yaitu sebagai motivator, dinamisator, dan katalisator. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat terdapat hubungan yang erat antara nilai-nilai agama masyarakat tersebut dan setiap aspek kehidupannya. Hal ini berarti adanya pengetahuan religius yang dimiliki masyarakat dan dengan pengetahuannya itulah masyarakat menjalani kehidupannya. Karena seperti itu, Durkheim menegaskan kepastian adanya kaitan yang erat antara ilmu (atau pengetahuan yang ada di masyarakat) dan aksi atau tindakan (yang dilakukan masyarakat).
Namun demikian, Durkheim mengatakan bahwa perubahan sosial itu dimotori oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta dasar moralitas yang kuat. Dasar moralitas bagi anak rabbi Yahudi ini bukannya wahyu, tetapi akal. Keberatan mendasar Durkheim terhadap wahyu adalah karena ketika dihadapkan kepada perubahan zaman, ia bersifat prapengalaman. Wahyu telah dianggap benar sebelum dibuktikan, sebagaimana corak doktrin gereja abad pertengahan. Baginya, moralitas bukanlah sesuatu yang deduktif, melainkan sesuatu yang berangkat dari kenyataan empiris. Dengan kata lain, moralitas yang ilmiah bercorak pascapengalaman.
Dalam konteks keindonesiaan, wahyu dan akal dapat dijadikan landasan moralitas secara bergandengan dengan ilmu dan teknologi sebagai motor perubahan sosial. Oleh karena itu, agama akan tetap dirasakan urgensinya, seperti dikatakan Mukti Ali. Dengan alasan, agama memberikan penghargaan positif dan kedudukan tinggi bagi akal.
Dalam kerangka ilmu sosial, agama haruslah kembali seperti pada awal kelahirannya dan bersifat profetik dalam arti menggerakkan perubahan-perubahan masyarakat. Tidak kemudian, seperti dalam perjalanannya setelah melembaga, agama kemudian menjadi rutinitas dari sejumlah ritus dan bahkan menjadi kekuatan konservatif, seperti dikatakan Kontowijoyo. Dalam hal itu, ia menilai, seperti dikatakan Dawam Raharjo, ilmu-ilmu sosial sekarang sedang mengalami kemandegan. Ilmu-ilmu sosial akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis sekarang ini fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala sosial saja. Hal seperti ini tidaklah cukup. Ilmu-ilmu sosial, di samping menjelaskan juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi. Inilah operasionalisasi konsep amar ma'ruf nahyi munkar (Ali Imran : 110).
Contoh-contoh aplikatif
Ada dua fenomena di antara sejumlah fenomena sosiologis di Indonesia yang dapat dengan relatif mudah dijadikan contoh diskursus agama dan perubahan sosial. Contoh pertama adalah lembaga pesantren. Lembaga ini dipilih karena di dalamnya dipelajari sumber-sumber informasi mengenai keniscayaan kebenaran absolut (kitab suci, sabda-sabda nabi, dan karya tulis para ulama sebagai pemegang akses otoritatif terhadap sumber-sumber tersebut). Dalam hal itu, pesantren adalah sebuah lembaga yang memainkan peranan penting dalam masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari kenyataan bahwa pesantren selalu dijadikan contoh dan panutan dalam segala hal yang dilakukan atau dianjurkan untuk dilaksanakan oleh masyarakat.
Seperti dikatakan Abdurrahman Wahid, pesantren juga berperan sebagai pembimbing spiritual masyarakat, dalam arti adanya sejumlah anggota masyarakat yang datang ke pesantren dengan maksud menanyakan masalah yang sedang dihadapinya, seperti dalam soal-soal perdata-agama; masalah-masalah keluarga, seperti hukum perkawinan, waris, dan wakaf; seringkali diajukan masyarakat kepada pesantren untuk diketahui bagaimana status hukumnya. Bahkan, masalah yang lebih dari itu pun bisa saja diajukan ke pesantren. Seperti ketika menghadapi pemilu beberapa waktu yang lalu, meski dilakukan dengan berbisik-bisik, ada sekelompok masyarakat yang bertanya mulai dari apakah harus ikut berpartisipasi dalam pemilu atau tidak, sampai kepada partai apa yang harus dipilih (atau partai apa yang didukung pesantren tersebut).
Hal seperti itu telah menunjukkan cukup terbukanya peluang pesantren untuk turut serta menciptakan dinamika masyarakat. Artinya, pengaruh pesantren terhadap masyarakat di sekitarnya yang cukup besar itu, tinggal dimanfaatkan sebagi-baiknya sehingga bisa saja pesantren berfungsi sebagai tranformer nilai-nilai ideal pada masyarakat tersebut. Yang pada akhirnya akan mewujudkan suatu proses dinamisasi sinergis kontinum yang terjadi pada masyarakat pedesaan itu.
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, dalam batas identifikasi sosiologis, pesantren juga merupakan sebuah subkultur. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek-aspek kehidupan dalam pesantren itu sendiri. Di antara aspek kehidupan tersebut adalah: eksistensi pesantren sebagai sebuah lembaga kehidupan, meski pesantren berada di tengah masyarakat, sedikit banyak berbeda dari pola kehidupan masyarakat pada umumnya; terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan pesantren; berlangsungnya proses tata nilai yang tersendiri dalam pesantren lengkap dengan simbol-simbolnya; adanya daya tarik ke luar sehingga memungkinkan masyarakat sekitarnya menganggap pesantren sebagai alternatif ideal bagi sikap hidup masyarakat itu; dan berkembangnya suatu proses pengaruh mempengaruhi antara pesantren dan masyarakat di sekitarnya yang akan berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima kedua belah pihak.
Demikian halnya pesantren dipandang sebagai sebuah subkultur karena di dalamnya telah terdapat realitas subkultur yang apabila disederhanakan, dapat terlihat sebagai mana berikut ini: pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti; cara hidup yang dianut; dan hierarki kekuasaan intern tersendiri yang ditaati sepenuhnya.
Dari uraian tersebut, paling tidak, terdapat dua hal yang menarik untuk di tempatkan dalam kerangka diskursus agama dan perubahan sosial. Pertama, pesantren adalah sebuah lembaga yang dapat berfungsi sebagai media untuk memunculkan dinamika masyarakat yang ada di sekitarnya. Hal ini terlihat dari aspek-aspek kehidupan subkultur di atas. Hal inilah yang kemudian melandasi pemikiran bahwa harus adanya refungsionalisasi pesantren dari hanya sekadar lembaga pendidikan agama menjadi salah satu pusat penting pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Dengan posisi dan kedudukannya yang khas inilah, menurut Azyumardi Azra, pesantren diharapkan menjadi suatu alternatif model pembangunan pada skala yang lebih besar yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered developmentt) karena pesantren berada di tengah masyarakat dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan masyarakat yang berorientasi pada nilai (value oriented development).
Kedua, dari realitasnya sebagai sebuah subkultur, mekanisme kehidupan pesantren sebetulnya terletak pada pimpinannya yang kemudian terlihat pada pandangan dan cara hidup yang bersumber pada nilai-nilai yang terdapat pada pesantren itu. Di lain pihak, pimpinan pesantren itu pun seringkali memiliki karisma yang begitu besar di mata masyarakat. Dengan demikian, dua hal itu bisa diformulasikan dalam wujud sinergi-sosiologis untuk melahirkan dinamika masyarakat yang berada di sekitar pesentren tersebut dengan nilai-nilai kehidupan ideal yang menjadi titik ¬awal pembentukannya.
Contoh kedua adalah optimalisasi pendayagunaan ZIS (zakat, infak, dan sadaqah). Contoh ini didasarkan pada pemikiran bahwa pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan usaha mendorong masyarakat miskin/masyarakat prasejahtera menjadi masyarakat sejahtera. Di Jawa Barat, juga di provinsi lain di Indonesia, masyarakat miskin pada umumnya adalah penduduk daerah pedesaan. Namun demikian, di daerah perkotaan pun dewasa ini sering ditemukan lokasi atau wilayah dengan kelompok masyarakat miskin ditemukan. Persoalan anak jalanan, tuna wisma, dan fenomena sosiologis lainnya, telah menjadi bagian potret masyarakat perkotaan. Hal ini berarti, persoalan kemiskinan masyarakat telah menjadi persoalan regional, bahkan nasional karena sebarannya tampak merata, mulai dari pedesaan hingga perkotaan.
Jika jumlah penduduk di Jawa Barat tahun ini diperkirakan sekitar 50 juta jiwa, sementara dilaporkan bahwa hingga tahun 1990 jumlah penduduk miskin di provinsi ini adalah 4.786.478 jiwa dan dengan adalnya krismon jumlah ini dipastikan bertambah, diperkirakan lebih dari 10 % penduduk Jawa Barat hidup dalam keadaan miskin. Sementara dari jumlah tersebut juga dilaporkan bahwa 98 %-nya adalah beragama Islam sehingga persoalan kemiskinan di Jawa Barat ini adalah persoalan ummat Islam.
Islam, dengan ajarannya yang universal, telah menawarkan solusi untuk memecahkan masalah tersebut. Zakat, infak, sadaqah, dan term-term sosioreligius lainnya adalah wujud solusi tersebut, yang dipadukan dengan semangat-semangat keagamaan lainnya secara historis telah berhasil mengubah kehidupan masyarakat Arab pada masa awal Islam yang pada umumnya mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Jika semangat religiohistoris tersebut ditarik ke dalam kehidupan masa kini, tidaklah mustahil, zakat, infak, dan sadaqah itu akan menjadi problem solver yang efektif.
Dengan asumsi bahwa validitas laporan angka-angka tersebut dapat dipertanggungjawabkan, maka terdapat tiga puluh juta jiwa lebih muzakki-fitrah per tahun dan dengan perhitungan satu kepala keluarga sama dengan lima jiwa, maka terdapat enam juta keluarga muzakki nonfitrah. Jika ditambah dengan infak, sadaqah, dan aksi-aksi religio-expenditure lainnya, potensi agama sebagai problem solver semakin tampak terlihat. Untuk zakat fitrah saja, perkiraan angka yang bisa diperoleh adalah (misalnya) 30.000.000 jiwa x Rp 6000,00 = Rp 180.000.000.000,00. Persoalannya sekarang, di samping mekanisme pengumpulannya yang terletak pada upaya optimalisasi pengelolaannya, langkah awalnya adalah memformulasikan sistem dan pola penggalian potensi sumber-sumber zakat, infak, dan sadaqah tersebut.
Di Provinsi Jawa Barat terdapat dua sektor besar di luar zakat fitrah yang dinilai berpotensi sebagai sumber ZIS. Pertama, sektor ekonomi langsung. Yang dimaksud dengan sektor ekonomi langsung, seperti dikatakan Endang Sortari Ad, adalah sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan perusahaan, perdagangan, dan jasa. Sektor ini meliputi industri, perhotelan, hiburan, restoran, ekspor impor, kontraktor, percetakan, penerbitan, swalayan, usaha, perkebunan, perikanan, peternakan, konsultan, notaris, travel biro, salon, transportasi, pergudangan, perbengkelan, perbankan, akuntan, dokter, rumah sakit, dan lain-lain. Sektor ini berada di bawah tema besar zakat al-tijarah.
Kedua, sektor ekonomi tak langsung. Yang dimaksud dengan sektor ini adalah orang-orang yang pendapatan atau penghasilannya telah mencapai nisab. Sektor ini merupakan gradasi langsung dari sektor pertama karena yang terlibat langsung dalam sektor pertama tersebut tentu saja orang-orang atau manusia yang dikategorikan sebagai salah satu faktor prodroduksinya. Dengan demikian, sektor ini merupakan akumulasi orang-orang yang terdiri dari para pengusaha, pegawai (negeri atau swasta), dan lain-lain. Sektor ini berada di bawah tema besar zakat profesi.
Namun demikian, uraian di atas, paling tidak sampai hari ini, masih berupa gagasan besar yang perlu ditindaklanjuti dengan serius. Kemiskinan yang tampak secara kasat mata, pada satu sisi, merupakan realitas kehidupan yang harus segera diselesaikan secara serius melalui penanganan yang komprehensif. Di sisi lain, terlihat sejumlah potensi ZIS yang dianggap bisa menjadi problem solver alternatif bagi kemiskinan tersebut. Akan tetapi, potensi ZIS tersebut tampak belum digali secara optimal. Hal inilah yang menunjukkan perlunya dilakukan penelitian yang memformulasikan sistem dan pola penggalian potensi ZIS tersebut.
Dua contoh di atas adalah sebagian kecil fenomena sosioreligius yang dapat dilihat eksistensinya pada masyarakat. Contoh-contoh lain dapat dilihat dan diformulasikan kerangka analisisnya sesuai dengan tempat dan waktu munculnya fenomena tersebut. Intinya, agama memang memiliki potensi untuk dijadikan pemecah masalah yang dihadapi masyarakat di samping juga bertugas untuk menciptakan dinamisasi masyarakat itu sendiri.
Dinamisasi masyarakat, seperti dikatakan Gus Dur, pada dasarnya mencakup dua buah proses, yaitu penggalakan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada di samping mencakup pula penggantian nilai-nilai lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna (al-muhafazhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah'). Berhasil atau tidaknya aktualisasi potensi agama tersebut, tentu saja dikembalikan kepada kita sebagai pemeluknya. Wallahu a'alam bi al-shawab.***
Dr. M. Anton Athoillah Hasyim, adalah dosen Fak. Syari'ah dan Kepala Pusat Penelitian Agama dan Perubahan Sosial pada Lembaga Penelitian IAIN SGD Bandung.
Psikonaliasis disebut-sebut sebagai kekuatan pertama dalam aliran psikologi. Aliran ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1890-an oleh Simund Freud, seorang ahli neurologi yang berhasil menemukan cara-cara pengobatan yang efektif bagi pasien-pasien yang mengalami gangguan gejala neurotik dan histeria melalui teknik pengobatan eksperimental yang disebut abreaction, sebuah kombinasi antara teknik hipnotis dengan katarsis, yang dia pelajari dari senior sekaligus sahabatnya, Dr. Josef Breuer. Bersama-sama dengan Breuer, Freud menangani pasien-pasien dengan gangguan histeria yang menjadi bahan bagi tulisannya, :”Studies in Histeria”. Kerjasamanya dengan Jean Martin Charcot, dokter syaraf terkenal di Perancis, dia banyak menggali tentang gejala-gejala psikosomatik dari pasien-pasien yang mengalami gangguan seksual.
Freud berhasil mengembangkan teori kepribadian yang membagi struktur mind ke dalam tiga bagian yaitu : consciousness (alam sadar), preconsciousness (ambang sadar) dan unconsciousness (alam bawah sadar). Dari ketiga aspek kesadaran, unconsciousness adalah yang paling dominan dan paling penting dalam menentukan perilaku manusia (analoginya dengan gunung es). Di dalam unsconscious tersimpan ingatan masa kecil, energi psikis yang besar dan instink. Preconsciousness berperan sebagai jembatan antara conscious dan unconscious, berisi ingatan atau ide yang dapat diakses kapan saja. Consciousness hanyalah bagian kecil dari mind, namun satu-satunya bagian yang memiliki kontak langsung dengan realitas. Freud mengembangkan konsep struktur mind tersebut dengan mengembangkan “mind apparatus”, yaitu yang dikenal dengan struktur kepribadian Freud dan menjadi konstruknya yang terpenting, yaitu id, ego dan super ego. Id adalah struktur paling mendasar dari kepribadian, seluruhnya tidak disadari dan bekerja menurut prinsip kesenangan, tujuannya pemenuhan kepuasan yang segera. Ego berkembang dari id, struktur kepribadian yang mengontrol kesadaran dan mengambil keputusan atas perilaku manusia. Superego, berkembang dari ego saat manusia mengerti nilai baik buruk dan moral. Superego merefleksikan nilai-nilai sosial dan menyadarkan individu atas tuntuta moral. Apabila terjadi pelanggaran nilai, superego menghukum ego dengan menimbulkan rasa salah. Ego selalu menghadapi ketegangan antara tuntutan id dan superego. Apabila tuntutan ini tidak berhasil diatasi dengan baik, maka ego terancam dan muncullah kecemasan (anxiety). Dalam rangka menyelamatkan diri dari ancaman, ego melakukan reaksi defensif /pertahanan diri. Hal ini dikenal sebagai defense mecahnism yang jenisnya bisa bermacam-macam, seperti : identifikasi, proyeksi, fiksasi, agesi regresi, represi.
Pemikiran Psikoanalisis dari Freud semakin terus berkembang, Alfred Adler (1870-1937), sebagai pengikut Freud yang berhasil mengembangkan teorinya sendiri yang disebut dengan Individual Psychology. Konsep utama Adler adalah organ inferiority. Berangkat dari teorinya tentang adanya inferiority karena kekurangan fisik yang berusaha diatasi manusia, ia memperluas teorinya dengan menyatakan bahwa perasaan inferior adalah universal. Setiap manusia pasti punya perasaan inferior karena kekurangannya dan berusaha melakukan kompensasi atas perasaan ini. Kompensasi ini bisa dalam bentuk menyesuaikan diri ataupun membentuk pertahanan yang memungkinkannya mengatasi kelemahan tersebut. Selanjutnya, Adler juga membahas tentang striving for superiority, yaitu dorongan untuk mengatasi inferiority dengan mencapai keunggulan. Dorongan ini sifatnya bawaan dan merupakan daya penggerak yang kuat bagi individu sepanjang hidupnya. Adanya striving for superiority menyebabkan manusia selalu berkembang ke arah kesempurnaan. Teorinya ini yang membuat Adler memiliki pandangan lebih optimis dan positif terhadap manusia serta lebih berorientasi ke masa depan dibandingkan Freud yang lebih berorientasi ke masa lalu.
Carl Gustav Jung (1875-1961), salah seorang murid Freud yang kemudian berhasil mengembangkan teorinya sendiri yang disebut Analytical Psychology. Jung menekankan pada aspek ketidakadaran dengan konsep utamanya, collective unconscious. Konsep ini sifatnya transpersonal, ada pada seluruh manusia. Hal ini dapat dibuktikan melalui struktur otak manusia yang tidak berubah. Collective unconscious terdiri dari jejak ingatan yang diturunkan dari generasi terdahulu, cakupannya sampai pada masa pra-manusia. Misalnya, cinta pada orangtua, takut pada binatang buas,dan lain-lain. Collective unconscious ini menjadi dasar kepribadian manusia karena didalamnya terkandung nilai dan kebijaksanaan yang dianut manusia. Ide-ide yang diturunkan atau primordial images disebut sebagai archetype, yang terbentuk dari pengalaman yang berulang dalam kurun waktu yang lama. Ada beberapa archetype mendasar pada manusia, yaitu persona, anima, shadow, self. Archetype inilah yang menjadi isi collective unconsciousness. (Hana Panggabean, 2007, http://rumahbelajarpsikologi.com)
Hingga saat ini di Amerika Serikat tercatat sekitar 35 lembaga pelatihan Psikoanalisis yang telah terakreditasi oleh American Psychoanalytic Association dan terdapat lebih dari 3.000 lulusannya yang menjalankan praktik psikoanalisis. Pemikiran psikoanalisis tidak hanya berkembang di Amerika di hampir seluruh belahan Eropa dan belahan dunia lainnya.
Beberapa teori yang dihasilkan dari kalangan psikoanalisis, diantaranya : (1) teori konflik; (2) psikologi ego; (3) teori hubungan-hubungan objek; (4) teori struktural; dan sebagainya
Terlepas dari kontroversi yang menyertainya, psikoanalisis merupakan salah satu aliran psikologi yang telah berhasil menguak sisi kehidupan manusia yang tidak bisa diamati secara inderawi. Psikoanalisis telah mengantarkan pelopornya, yaitu Sigmund Freud sebagai salah satu tokoh psikologi yang paling populer di Amerika pada abad ke-20.
DI BALIK kontroversi yang marak di seluruh dunia baru-baru ini karena karikatur Nabi Muhammad yang termuat di koran Denmark, Jyllands-Posten, sesungguhnya terdapat perihal yang lebih mendasar, yakni perupaan sosok yang disucikan oleh Islam. Bagaimana sesungguhnya Islam melihat seni, khususnya seni rupa?
DI BALIK kontroversi yang marak di seluruh dunia baru-baru ini karena karikatur Nabi Muhammad yang termuat di koran Denmark, Jyllands-Posten, sesungguhnya terdapat perihal yang lebih mendasar, yakni perupaan sosok yang disucikan oleh Islam. Bagaimana sesungguhnya Islam melihat seni, khususnya seni rupa?
Saya kira, seni rupa, dalam hal ini lukisan dan patung, akan selalu bermasalah jika ditinjau dari doktrin Islam dan budaya Arab. Perupaan demikian tidak hanya terbatas pada sosok yang dianggap suci seperti para malaikat dan nabi, tetapi juga pada perupaan makhluk sekecil semut atau nyamuk. Ini terlihat dari beberapa hadis yang bersikap tegas melarang gambar dan patung. Hadis merupakan ajaran Islam yang kedua setelah Alquran.
Misalnya saja sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksaannya di Hari Kiamat adalah pelukis.” Pelukis dan pematung dianggap “menandingi” Allah, dengan “menciptakan” makhluk bernyawa. Ditulis juga dalam hadis itu, mereka akan dipaksa “menghidupkan makhluk itu”; jika tidak bisa, mereka akan disiksa. Dalam riwayat Muslim yang lain, “malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada gambar dan patung.” Demikianlah sederet dalil yang biasa digunakan untuk mengharamkan gambar dan patung.
Dalam konteks kelahiran Islam dalam ranah budaya Arab, perupaan dalam bentuk patung erat kaitannya dengan media kemusyrikan. Adapun Islam hendak menegakkan ajaran tauhid dan menghancurkan segala media kemusyrikan itu. Perupaan yang dikenal oleh bangsa Arab ketika Islam lahir tidak bertujuan seni, tapi sebagai kultus dan sembahan.
Yang lebih ekstrim lagi, hemat saya, bangsa Arab waktu itu tidak memiliki budaya dan seni yang bernilai tinggi. Apalagi bila kita bandingkan dengan beberapa peradaban besar yang lahir ribuan tahun sebelum Islam datang, misalnya peradaban-peradaban Firaun di Mesir, Babilonia di Irak, Yunani, Romawi, Persia, Yaman dan Ethiopia.
Kondisi geografis tidak memungkinkan bangsa Arab mendirikan pusat peradaban. Hidup di tengah gurun pasir yang tandus dan terkucilkan oleh bukit-bukit dan lembah yang gersang, mereka hidup nomaden untuk mencari oase dan padang rumput demi mempertahankan hidup.
Sangatlah berbeda dengan peradaban-peradaban kuno yang lahir dan berkembang di tepian sungai-sungai besar. Peradaban Firaun lahir di tepi Sungai Nil, Babilonia di Sungai Eufrat (Furat), India di Sungai Gangga, dan Tiongkok di Sungai Kuning. Jika kita percaya pada teori bahwa seni dan budaya yang berkualitas itu berasal dari taraf kehidupan bangsa yang tinggi, maka bangsa Arab tidak memiliki potensi itu. Kualitas seni yang dikenal oleh bangsa Arab hanyalah seni sastra yang tercatat dalam syair-syair Jahiliyah.
Namun hal itu pun diragukan oleh Thaha Husain dalam bukunya Fî al-Syi’ir al-Jâhilî (Puisi Jahiliyah). Menurutnya, syair-syair Jahiliyah itu bukan berasal dari zaman Jahiliyah pra-Islam, tetapi berasal dari praktik pemalsuan (intihâl) yang dilakukan oleh penyair-penyair bangsa Arab kemudian. Tujuannya memuji kemulian dan kebesaran bangsa Arab. Syair terindah dan terunggul akan diabadikan dengan digantungkan di Ka’bah sebagai penghormatan yang digelari al-mu’allaqât (syair-syair yang digantungkan). Hakikatnya, syair-syair tersebut adalah propaganda untuk menunjukkan bahwa nenek moyang bangsa Arab memiliki cita rasa seni, sastra dan budaya yang tinggi. Padahal, kenyataannya sungguh bertolak belakang. Inilah paradoks pencitraan bangsa Arab yang dalam Alquran disebut berbudaya Badui yang nomaden, menanam bayi perempuan hidup-hidup, suka berperang, dan memiliki sifat-sifat masyarakat tak berbudaya lainnya.
Bangsa Arab juga tidak mengenal peradaban fisik yang agung. Ka’bah sebagai simbol arsitektur bangsa Arab, tidak menarik secara estetis. Bentuknya hanya kubus dan dibangun dari tumpukan batu-batu. Bahkan ketika Ka’bah mengalami kerusakan, yang merenovasinya adalah tukang-tukang dari Koptik (Mesir). Para tukang itu memiliki kebiasaan bernyanyi dan memukul gendang. Dari mereka itulah, bangsa Arab mengenal lagu dan musik.
Demikian pula Masjid Nabawi di Madinah, yang didirikan dari batang pohon kurma dan tumpukan batu saja. Posisinya berhimpitan dengan rumah Nabi yang hanya dibatasi tirai kain. Bandingkan dengan peradaban Firaun di Mesir dan Babilonia di Irak, ribuan tahun sebelum Islam tiba, yang telah mampu membangun kota dan istana yang megah.
Bangsa Arab pun sudah mengenal seni patung. Tapi janganlah menyamakan itu dengan, misalnya, patung-patung zaman Firaun di Mesir. Patung Arab terbuat dengan pahatan kasar yang tidak memiliki kualitas seni sama sekali. Bahkan Umar bin Khattab yang kelak dikenal sebagai Khalifah kedua itu pernah membuat patung dari adonan kue sebelum dia masuk Islam. Setelah disembahnya patung itu pun dimakannya. Ini sungguh berbeda dengan tradisi patung-patung di tempat lain, yang di samping sebagai obyek pemujaan juga garapan seni. Islam datang tanpa memerikan sumbangsih apapun terhadap dunia seni. Seperti tradisi agama sebelumnya, Islam terpengaruh oleh struktur budaya masyarakat yang didatanginya. Akhirnya karakter Islam juga mengulangi budaya bangsa Arab. Yaitu sama-sama tidak memberi tempat yang layak pada seni. Namun Islam menyumbangkan penulisan, tradisi yang sebelumnya dianggap aib oleh bangsa Arab. Adapun perangkat hukum, ritual keagamaan dari solat, haji, puasa jelaslah berasal dari budaya masyarakat pra-Islam. Hal ini digambarkan secara apik oleh Khalil Abd Karim dalam buku al-Judzûr al-Târîkhiyyah li Syarî’ah al-Islâmiyah (Akar-akar Historis Syariat Islam).
Begitu juga menurut Mohammad Arkoun dalam karyanya Ayna Huwa al-Fikr al-Islâmî al-Mu’âshir (Di Mana Pemikiran Islam Kontemporer?). Menurutnya, Islam hanya mengubah orientasi dari simbol teologis menjadi simbol politis. Hal itu akibat pergumulan dengan ideologi bangsa Arab waktu itu. Sebelum Islam, simbol-simbol teologis tersebut digunakan sebagai alat ketaatan terhadap suku yang diwujudkan dalam berhala (patung).
Islam mengubah orientasi simbolik dari patung (berhala) menuju Tuhan (Allah). Adapun simbol-simbol teologis yang ampuh menundukkan ketaatan masyarakat tetaplah dipertahankan. Secara sederhana pertikaian antara Nabi Muhammad dengan suku-suku Arab merupakan pertarungan politis dengan simbol teologis yang sama. Patung adalah saingan Allah. Fanatisme kesukuaan (al-‘ashabiyah) adalah saingan persaudaraan Islam (al-ukhuwwah al-Islâmiyah). Sementara dukun (al-kâhin) dan penyair (al-syâ’ir) adalah saingan Nabi.
Kapan Islam bersentuhan dengan dunia seni? Menurut Ahmad Amîn seorang sejarawan muslim terkemuka dalam karyanya, Fajr al-Islâm (Fajar Islam), bangsa muslim pada dasarnya tidak mengenal seni, budaya dan peradaban. Mereka mengenal seni setelah keluar dari sarangnya, tanah Hijaz (Saudi Arabia saat ini). Islam baru bersinggungan dengan seni rupa, musik, dan arsitektur setelah menguasai pusat-pusat peradaban dunia pra-Islam. Terutama pada masa Dinasti Umayyah di Damaskus (Siria) dan Dinasti Abbasiah di Baghdad (Irak). Demikian juga tradisi-tadisi keilmuan Islam seperti tafsir, hadis, fikih, ilmu kalam (teologi), dan tasauf, yang disusun dan dikodifikasikan karena pengaruh dari peradaban-peradaban lain.
Setelah Islam menguasai pusat-pusat peradaban, pendapat ekstrim yang melarang seni tidak lagi populer. Sebab, pemimpin-pemimpin politik yang berasal dari dinasti-dinasti Islam sangat menikmati kehidupan seni yang sekuler. Dinasti Umayyah memiliki peranan dalam mengembangkan tradisi-tradisi keilmuan Islam, mulai dari tafsir, hadis, fikih, dan penerjemahan filsafat Yunani. Mereka juga menikmati kehidupan seni musik, tari, rupa dan lain-lain. Dinasti Abbasiah sesudahnya adalah zaman keemasan, dan menjadi pusat peradaban dunia waktu itu. Sedangkan ulama agama yang ekstrim tidak berani menolak terang-terangan meskipun mengutuk secara diam-diam kehidupan penguasa Islam yang sekuler itu.
Jadi setelah merunut doktrin dan sejarah awal Islam, kita bisa menyimpulkan bahwa mencari pembenaran terhadap seni rupa dalam doktrin Islam adalah pekerjaan sia-sia. Namun bukan berarti perupaan terhadap Nabi tidak ada sama sekali. Penggambaran Nabi, baik dengan wajah terbuka ataupun dengan tertutup, nantinya ditemukan di kawasan Persia, Turki dan Asia Tengah. Perupaan tersebut merupakan “keusilan” para seniman yang hidup di alam sekuler, yang berasal dari luar tanah Hijaz (Arab), ataupun yang telah menjadi seniman sebelum masuk Islam. Misalnya sebuah lukisan yang dibuat pada 1315 di Tabriz, Persia (Iran), menggambarkan Nabi Muhammad tengah mengambil Hajar Aswad (Batu Hitam) dari selembar kain yang empat ujungnya dipegang oleh masing-masing kepala suku besar di Makkah. Cerita itu berasal dari kitab sejarah Jâmi’ al-Tawârikh karya Rasyid al-Dîn. Sedangkan manuskrip gambar itu saat ini berada di perpustakaan Universitas Edinburgh Inggris. Lukisan-lukisan lain yang menggambarkan sosok Nabi dengan wajah terbuka ditemukan di Bukhara (Uzbekistan) dan Herat (Afghanistan). Sedangkan lukisan sosok Nabi dengan wajah tertutup berasal dari perkembangan seni rupa dan arsitektur Dinasti Utsmaniyah di Turki. Kaligrafi yang sering diklaim sebagai seni Islam itu sebenarnya berasal dari tanah Persia. Sementara itu, mayoritas intelektual muslim yang menulis tafsir, hadis, tasauf, dan sains, bukanlah orang-orang Arab. Sebut saja al-Bukhari, Muslim, al-Ghazali, al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Razi, al-Khawarizmi, al-Jabar, al-Haytsam, dan lain-lain. Bahkan ahli bahasa Arab yang terkenal sekalipun, al-Sibawih, bukanlah orang Arab. Sangatlah mengherankan bila ada ajakan untuk kembali ke zaman Nabi, Khulafaa al-Rasyidin, dan era salaf a-shâlih (orang-orang terdahulu yang salih). Sebab itulah ajakan untuk kembali pada era masyarakat yang terbelakang. Marilah kita menyadari bahwa seni yang sering diklaim sebagai seni Islam bukanlah berasal dari ajaran normatif Islam, tapi dari sisi-sisi historis Islam. Bukan Islam sebagai sebuah agama an sich, tapi Islam yang telah berinteraksi dengan berbagai peradaban pra-Islam.